Thursday, April 22, 2010

Badan Permusyawaratan Desa

Artikel utama: Badan Permusyawaratan Desa
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Pimpinan dan Anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa. BPD berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat


Badan Permusyawaratan Desa
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Pimpinan dan Anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa. BPD berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.


Sebagai lembaga baru yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) dan Peraturan Daerah (Perda), keberadaan Badan Perwakilan Desa (BPD) ini belum banyak dikenal. Oleh karena itu, fungsinya sebagai penampung dan penyalur aspirasi masyarakat di desa belum banyak dimanfaatkan. Ironisnya, pengurus yang tergabung dalam wadah ini bahkan belum memahami betul apa yang menjadi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari BPD itu sendiri. Akibatnya, sering terjadi kesalahpahaman antara BPD dan perbekel serta perangkatnya yang selama ini menjadi penguasa tunggal di desa. Lantas, bagaimana upaya BPD memperkecil kesalahpahaman itu?

Berbagai permasalahan harus diakui memang sering muncul di masyarakat desa, seperti masalah adat, perebutan perbatasan wilayah dan lainnya. Biasanya, selaku aparat pemerintah, perbekel bersama perangkatnya kemudian turun tangan untuk mengatasi. Tetapi sekarang, tentu tidak demikian adanya. Mengingat aturan perundang-undangan telah menetapkan sebuah lembaga baru -- BPD -- yang notabene memiliki tugas dan kewenangan yang sama, yakni mengawasi dan mengatur pemerintahan desa, membuat peraturan perundang-undangan desa, menentukan Rancangan Belanja Pendapatan Desa (RAPBDes), menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dan lainnya.

Sayang, keberadaan lembaga tersebut belum sepenuhnya diakui pemerintah, baik pemerintah kabupaten maupun pemerintah di desa. Kesalahpahaman antara BPD dan perbekel pun tak dapat dihindarkan. Seperti yang terungkap dalam pertemuan pengurus BPD se-Kabupaten Gianyar di ruang pameran Museum Neka, Ubud, Sabtu (6/3). Dalam pertemuan itu, terungkap beberapa permasalahan, di antaranya masalah mekanisme dan kewenangan BPD mengayomi adat-istiadat di desa. Seperti diungkapkan Ketua BPD Bukian Wayan Dwipayasa, jika ada satu atau beberapa warga tanpa alasan jelas ingin melepaskan diri dari desa adat, bagaimana dan dari mana BPD itu bisa masuk ke permasalahan tersebut. Apalagi, keinginan warga melepaskan diri dari desa adat itu dianggap sebuah pelanggaran awig-awig.

Ia juga mengungkapkan seringnya terjadi kesalahpahaman antara perbekel dan BPD, terutama dalam hal pertanggungjawaban keuangan desa. Padahal, BPD punya kewenangan untuk merancang APBDes terkait sumber dan pengeluaran keuangan desa.

Di samping itu, permasalahan lain berupa penetapan aturan dan mekanisme di desa, perbekel juga cenderung merasa sebagai single power. Ketika BPD mengundang masyarakat untuk mengadakan suatu koordinasi terkait pelaksanaan pemerintahan di desa, ada perbekel yang protes dan mempertanyakan, bagaimana keberadaan BPD sehingga berani mengundang masyarakat tanpa melalui perbekel. Bahkan, ada yang beranggapan bahwa BPD itu bukan milik rakyat. ''Bagaimana ini, bukankah BPD itu dibentuk berdasarkan undang-undang,'' tanya pengurus BPD Tulikup, Gusti Ngurah Agung Tri Putra.

Selain itu, muncul keinginan pengurus BPD dalam pertemuan yang dipimpin Ketua BPD Buahan Kaja, Payangan, Berata Ashrama ini untuk membentuk sebuah Forum BPD. Keberadaan forum itu diharapkan dapat menyatukan persepsi antara perbekel dan perangkatnya dalam mengawasi pemerintahan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Paling tidak, dengan bekerja sama dengan pakar hukum pemerintahan, BPD bisa mempersempit perbedaan yang memunculkan suatu permasalahan itu.

Dari 71 pengurus BPD yang hadir secara aklamasi memilih Berata Ashrama sebagai Ketua Forum BPD Gianyar yang dibantu enam pengurus lainnya, yang masing-masing kecamatan menempatkan seorang perwakilannya. ''Setelah forum ini terbentuk, kami akan segera berkoordinasi dengan perbekel dan perangkatnya untuk bersama-sama melaksanakan pemerintahan desa. Mudah-mudahan nantinya bisa dibuat bagan tugas dan kewenangan serta tupoksi masing-masing serta mekanisme hubungan kerja. Sehingga, antara BPD dan perbekel serta perangkatnya dapat bekerja sama dengan baik tanpa ada perasaan saling menyaingi,'' ujar Berata Ashrama. (bal)

Implikasi penerapan Otonomi Daerah sebagaimana diamanatkan Undang Undang 22 Tahun 1999 berpengaruh penting pada tatanan penyelenggaraan Pemerintahan Desa sebagai front terdepan pertemuan kepentingan masyarakat dengan Pemerintahan. Pengakuan eksistensi Pemerintahan Desa yang bersifat otonom dengan mengintroduksi perangkat Badan Perwakilan Desa yang mirip dengan struktur Dewan Perwakilan Rakyat menimbulkan penafsiran yang beragam ketika berinteraksi dengan Kepala Desa.
Penelitian Peran Badan Perwakilan Desa (BPD) dan Lembaga Desa di Kabupaten Gresik bertujuan memetakan ragam pola hubungan kerjasama BPD dan Pemerintah Desa di Kabupaten Gresik, kemudian penelitian ini menemutunjukkan pola dan model kemitraan yang ideal berikut hambatan internal maupun eksternal. Penelitian menggunakan metode survei dengan 54 Desa terpilih sebagai sampel diantara 365 Desa di Kabupaten Gresik. Responden penelitian berjumlah 3 orang masing-masing Desa, terdiri atas mereka yang terlibat secara langsung dalam kemitraan antara BPD dengan Pemerintah Desa, yaitu Kepala Desa (mewakili Pemerintah Desa) dan Ketua BPD (mewakili BPD) serta seorang tokoh masyarakat desa sebagai informan penyeimbang.

“ KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH SEBAGAI BENTUK DEMOKRASI DALAM UPAYA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT “ (Oleh : ASMAUL FAUZIAH)

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada jaman orde baru, organisasi negara Indonesia menganut asas sentralisasi, dimana banyak kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat dan harus dilaksanakan oleh semua tingkat pemerintahan di bawahnya. Kebijakan ini menimbulkan adanya kesenjangan pertumbuhan wilayah di berbagai daerah,. Sehingga memunculkan gejala disintegrasi bangsa seperti GAM, RMS dan Timor-Timor. Selain itu juga muncul berbagai permasalahan ekonomi.
Dalam proses politik sepanjang masa , akan selalu dijumpai 5 masalah besar (great issues).Kelima masalah besar itu diiktisarkan sebagai berikut : The coverage of citizenship, The functions of the state, The source of authority,The structure of authority dan The magnitude of the state and its external relations. Dari kelima besar masalah tersebut, masalah keempat berkaitan langsung dengan masalah pemilihan antara centralization dan local autonomy. Sehubungan dengan masalah di atas, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia menjatuhkan pilihannya pada desentralisasi. Inilah alasan mengapa salah satu issue kebijakan publik yang paling ramai diperbincangkan semenjak jatuhnya pemerintahan Presiden Suharto adalah kebijakan otonomi daerah. Otonomi daerah ditempatkan sebagai salah satu agenda reformasi yang diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

B. RUMUSAN MASALAH
Apakah kebijakan Otonomi Daerah sebagai bentuk dari demokrasi mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia?

C. TUJUAN
Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah sebagai bentuk dari demokrasi dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia



BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN OTONOMI DAERAH
Menurut PBB, pengertian desentralisasi mengandung unsur pembentukan local government atau daerah otonom di Indonesia. Unsur tersebut selalu muncul dalam pendapat para ahli pemerintahan daerah. Menurut Cheema at all (1983), bentuk lain dari desentralisasi yang disebut devolusi ”seeks to create or strengthen independent levels or units of government through devolution of functions and authority”. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Rondinelli at all (1983) bahwa devolusi adalah the creation or strengthening financially or legally of sub national units of government. Sementara Aldelfer (1964) menyatakan bahwa “in decentralization, local units are established with certain powers of their own and certain fields of action in which they may exercise their own judgment, initiative, and administration”. Bahkan Mawhood (1983) berpendapat bahwa pembentukan local government dalam desentralisasi dengan undang-undang dan keberadaannya terpisah dari pemerintah.
Disamping unsur pembentukan local government, desentralisasi juga berarti penyerahan wewenang dalam pembentukan kebijakan. Smith (1967) mengemukakan bahwa dalam desentralisasi, “the authority to make certain decisions in some spheres of public policy is delegated by law to subnational territorial assembles” (c.g. local authority). Dalam istilah Indonesia wewenang yang diserahkan kepada daerah otonom disebut wewenang pengaturan. Cara penyerahan wewenang dapat dengan ultra vires doctrine atau dapat dengan open end arrangement (general competence). Hal ini ditegaskan oleh Maddick (1963) bahwa desentralisasi adalah “legal conferring of powers to discharge specified or residual functions upon formally constituted local authorities”. Walaupun demikian, wewenang dan fungsi (urusan pemerintahan) yang diserahkan kepada daerah otonom (local government) terbatas dalam wewenang dan fungsi pemerintah.

B. KONSEP KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH
Sejak berlakunya desentralisasi dan diberikannya wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah, ada lebih banyak peluang bagi pemerintahan daerah untuk memperbaiki usaha-usaha tata pemerintahan yang baik.
Pembentukan daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal. Untuk itu maka pembentukan daerah harus mempertimbangkan berbagai faktor seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, luas wilayah, kependudukan, dan pertimbangan dari aspek sosial politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan serta pertimbangan dan syarat lain yang memungkinkan daerah itu dapat menyelenggarakan dan mewujudkan tujuan dibentuknya daerah dan diberikannya otonomi daerah.
Sesuai dengan UUD 1945, pembatas besar dan luasnya daerah otonom dan hubungan kekuasaan antara pemerintahan pusat dan daerah adalah menghindari daerah otonomi menjadi Negara dalam Negara. Dengan demikian pembentukan darah otonom dalam rangka dsentralisasi di Indonesia memiliki cirri-ciri :
a. Daerah otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di Negara federal.
b. Daerah otonom tidak memiliki Povouir Contituant.
c. Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atau pengakuan atas urusan pemerintahan.
Bagaimana halnya dengan tujuan desentralisasi? Perspektif state-society relation tidak mendikotomikan antara tujuan politik dan tujuan administrasi, karena kedua-duanya sama penting untuk diwujudkan. Untuk itu, maka tujuan desentralisasi dikembalikan pada konsep dasarnya yang diklasifikasikan dalam dua kategori utama, yaitu tujuan desentralisasi untuk kepentingan nasional, dan untuk kepentingan daerah. Sementara substansi dari masing-masing kategori tersebut harus dapat mengakomodasi aspek sosial dan aspek ekonomi yang hendak dicapai. Spesifiknya, berdasarkan kepentingan nasional tujuan utama dari desentralisasi adalah:
a. Untuk mempertahankan dan memperkuat integrasi bangsa
b. Sebagai sarana untuk training bagi calon-calon pemimpin nasional
c. Untuk mempercepat pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Sedangkan dari sisi kepentingan daerah, tujuan utama dari desentralisasi meliputi, antara lain:
a. Untuk mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal (political equality, local accountability, dan local responsiveness)
b. Untuk peningkatan pelayanan publik
c. Untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah.
DPRD mempunyai peran penting dalam pembentukan sebuah daerah otonom baru berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, sebab salah satu persyaratan administratif dalam pembentukan daerah otonom adalah adanya persetujuan dari DPRD setempat. Persetujuan dari DPRD terhadap pembentukan daerah otonom mencerminkan dua aspek penting yakni aspek aspirasi masyarakat sekaligus aspek politis. Sebagai wakil masyarakat DPRD merepresentasikan aspirasi masyarakat terhadap sebuah usulan pembentukan daerah otonom sehingga dapat diketahui apakah usulan pembentukan sebuah daerah dapat memenuhi kepentingan rakyat banyak atau tidak.
Dalam Otonomi Daerah diharapkan dapat mengembangkan wilayahnya menjadi wadah yang tepat bagi pertumbuhan dan perkembangan investasi dan industri dengan penekanan pada kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam lokal (daerah), kelembagaan dan teknologi. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing daerah dalam percaturan perekonomian global maupun regional.
Dengan demikian pelaksanaan urusan pilihan merupakan upaya pengembangan ekonomi daerah yang di dalam UU No. 32 Tahun 2004 telah mendapat pengaturan yang jelas bahwa daerah mempunyai otonomi seluas-seluasnya yang harus dimaknai sebagai kewenangan untuk menentukan dan mengelola urusan yang bersifat pilihan. Dalam konteks ini maka upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah adalah menjadikan daerah sebagai wadah yang tepat bagi pertumbuhan dan perkembangan investasi dan industri dengan penekanan pada kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam lokal (daerah).
Setiap daerah memunculkan dan memupuk core competence-nya masing-masing, agar kemudian mampu mewujudkan pusat-pusat pertumbuhan (growth center) di seluruh Indonesia. Pusat-pusat pertumbuhan dengan produk unggulannya masing-masing selanjutnya dapat menyusun networking system dalam semangat kerjasama antar daerah; untuk mewujudkan ketahanan nasional. Itulah sebabnya diperlukan tata-hubungan dan koordinasi yang rapi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan pusat, propinsi dan kabupaten/kota yang selalu harus dibangun di era otonomi daerah sekarang ini.

C. PELAKSANAAN KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH
Setelah dilimpahkannya beberapa wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah seharusnya mempermudah pada penciptaan kesejahteraan masyarakat. Hal ini didasarkan karena wewenang Pemerintah Daerah untuk menentukan kebijakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat di wilayahnya semakin terbuka dan luas. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian, banyak kasus yang terjadi di Indonesia justru secara tidak langsung disebabkan oleh tidak efektifnya pelaksanaan otonomi daerah.
Contoh kasus adalah penyebaran jumlah penyakit tropis, seperti malaria, kusta atau lepra, dan filariasis atau kaki gajah hingga kini tidak teratasi (Kompas : 11/8). Hal ini antara lain karena rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat setempat. Berbeda dengan negara-negara di Eropa yang dulunya dikenal sebagai daerah endemik kolera, cacar, dan sebagainya telah mampu mengatasi penyakit tersebut seiring dengan peningkatan taraf pendidikan dan ekonomi. Muncul pertanyaan, kenapa masalah peningkatan penyakit tropis tersebut justru timbul ketika Indonesia menganut otonomi daerah. Kenapa ketika masih dianutnya asas sentalisasi kesehatan masyarakat Indonesia relatif lebih baik. Bukankah secara teori seharusnya tidak demikian. Hal ini lebih disebabkan karena Pemerintah Daerah pada dasarnya belum sepenuhnya siap untuk mengimplementasikan otonomi daerah. Otonomi daerah lebih dipahami sebatas pelimpahan keuangan dari pusat kepada daerah melalui mekanisme bagi hasil pajak maupun dana desentralisasi. Otonomi tidak dimaknai lebih luas sebagai pelimpahan wewenang dan tanggung jawab daerah untuk memakmurkan (efficient and effective) dan memberdayakan (local democracy) masyarakat di daerahnya. Bagaimanapun urusan kesehatan telah didesentralisasikan dari pusat kepada daerah sehingga seharusnya Pemerintah Daerah lebih bertanggung jawab terhadap kesehatan warganya. Sulitnya Departemen Kesehatan menangani masalahan kesehatan di beberapa daerah lebih disebabkan karena kendala birokratis yang ditimbulkan oleh mekanisme otonomi.
Ada juga fenomena menarik ketika melihat banyak pimpinan pemerintah daerah yang memilih berhubungan langsung dengan Presiden dibandingkan melalui Gubernur terlebih dahulu. Padahal dalam konsep desentralisasi peran Gubernur juga merupakan wakil pemerintah pusat yang berada di daerah. Peran ini menuntut Gubernur untuk memberikan bimbingan dan supervisi kepada daerah-daerah di bawahnya. Namun ternyata banyak pimpinan daerah yang merasa independent, sehingga tidak memerlukan keberadaan Gubernur. Bahkan dalam beberapa kasus tidak mau tunduk dengan instruksi Gubernur. Sebagai contoh adalah proses pengajuan Anggaran Penerimaan dan Pembelanja Daerah (APBD).
Fenomena di atas menunjukkan bahwa praktik otonomi daerah justru menghasilkan koordinasi yang lemah antara pusat dan daerah. Selain itu eforia politik terjadi hampir disemua daerah. Dalam setahun, warga negara dapat mengikuti hampir sebelas kali coblosan pemilu, yaitu mulai dari pemilihan kepala desa, camat, bupati, gubernur, legislatif tingkat satu dan dua, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Presiden. Akibatnya warga negara menjadi jenuh dan letih menghadapi demokrasi yang berlarut-larut, sementara mereka tidak merasakan dampak positif dari penyelenggaraan tersebut. Bisa dibayangkan, berapa banyak dana negara yang digunakan untuk menyelenggarakan pemilihan ini. Di sisi lain banyak kasus pemilu daerah yang menyebutkan terjadinya penolakan hasil pemilu daerah dengan tindakan anarkis karena rakyat menganggap proses penghitungan suara terdapat kecurangan.
Dari hasil penelitian beberapa ahli pemerintahan, sebagian besar sumber dana yang digunakan oleh pemerintah daerah berasal dari pemberian pemerintah pusat dalam bentuk dana bagi hasil pajak dan dana desentralisasi. Hanya sebagian kecil sumber dana yang diperoleh dari pendapatan asli daerah (PAD). Kondisi ini tentu sangat ironis ketika kemudian banyak daerah yang terus mengajukan pemekaran kepada DPR. Permintaan ini sangat bernuansa politis, dan jauh dari pertimbangan penciptaan kesejahteraan masyarakat.
Otonomi daerah pada prinsipnya diharapkan dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan publik, memperbaiki derajat kesejahteraan serta kelayakan hidup rakyat, di mana pemerintahan dan pembangunan dikelola dalam proses-proses yang demokratis.
Dalam proses-proses pengelolaan daerah seperti itu, pemerintah daerah miliki ruang bebas untuk berkreatifitas membuat kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda), dengan melibatkan stakeholders yang ada di daerahnya. Muara dari semua kebijakan pemerintah daerah tersebut dan perda yang dibuat oleh pemerintah daerah, berkembang bergantung kepada kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan sebagai tujuan akhir.
Namun, sasaran-sasaran otonomi daerah tersebut di atas belum tercapai karena berbagai hal. Di satu pihak, masih ada berbagai peraturan perundangan di tingkat pusat yang bertentangan dengan semangat otonomi daerah serta tidak menyelesaikan tumpang tindih kewenangan antar berbagai instansi pemerintah pusat. Di sisi lain masih terdapat cukup banyak peraturan daerah yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi serta tidak berorientasi kepada kepentingan umum.
Terdapat tiga hal yang menjadi penyebab terjadinya desentralisasi korupsi pada era otonomi daerah. Pertama, program otonomi daerah hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Dengan kata lain, program otonomi daerah tidak diikuti dengan program demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan di daerah. Karenanya, program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada elit lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan politik daerah, yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Kedua, tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah memotong struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Kepala daerah, baik gubernur, bupati maupun walikota, tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan bertanggunjawab ke DPRD. Hubungan pemerintahan pusat dan daerah hanya fungsional, yaitu hanya kekuasaan untuk memberi policy guidance kepada pemerintah daerah. Ketiga, legislatif gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol. Justru sebaliknya terjadi kolusi yang erat antara pemerintah daerah dan DPRD sehingga control terhadap penyelenggaraan pemerintahan derah tidak terjadi, sementara kontrol dari kalangan civil society masih lemah. Yang perlu digarisbawahi bahwa adanya lembaga control seperti DPRD yang secara konstitusi harus mengawasi kebijakan pihak eksekutif (Pemerintah Daerah) tidak berarti kemungkinan akan adanya penyelewengan dan korupsi menjadi hilang. Justru ketika kolusi terjadi antara pihak eksekutif dengan legislatif, sangat sulit bagi masyarakat untuk melakukan kontrol atas kedua lembaga tersebut oleh karena otonomi masyarakat tidak diwujudkan.Peristiwa ini bukannya meningkatkan kesejahteraan rakyat, malah menyengsarakan rakyat.
Kebijakan otonomi daerah juga memicu terswastanisasi badan-badan ekonomi milik pemerintah. Hal ini malah akan merugikan negara bila tidak dipikirkan dampaknya dalam jangka panjang.



BAB III
KESIMPULAN

Sebagian kalangan menilai bahwa kebijakan Otonomi Daerah di bawah UU 32/2004 merupakan salah satu kebijakan Otonomi Daerah yang terbaik yang menjadi suatu wujud nyata demokrasi. Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap sudah cukup memadai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat daerah. Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan, mensejahterakan masyarakat dan pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat memenuhi aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah.
Dalam pelaksanaannya pemberian otonomi daerah ternyata belum secara optimal menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, yang berarti bahwa wujud dari demokrasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyar belim terwujud. Hal ini terbukti dengan banyaknya korupsi di tingkat daerah dan terswastanisasi badan-badan ekonomi milik pemerintah yang merugikan negara. Namun di sebagian daerah telah mampu mensejahterakan masyarakatnya, seperti kebanyakan kota di Indonesia bagian timur yang mampu mengembangkan objek pariwisatanya.
Kebijakan Otonomi Daerah dalam pelaksanaannya memiliki dua sisi yaitu positif dan negatif. Kita tidak perlu membuat kesimpulan kalau kebijakan otonomi daerah tidak berhasil, karena setiap kebijakan pasti memiliki sisi positif dan negatif, tinggal bagaimana kita meminimalisir sisi negatif dari kebijakan tersebut. Sehingga kita harus mengupayakan lagi agar pemberian otonomi daerah secara optimal guna meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat yang merupakan indikator telah terwujudnya negara demokrasi Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA

• Riwu, Josef K. 2005. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
• http://mnaimamali.blogspot.com/
• http://www.geocities.com/
• http://fisipups.blogspot.com/
• http://sulaiman.blogdetik.com/

PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU)

A. PENDAHULUAN

Dalam Pasal 24 Undang-Undang No. 10 Th.2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, rancangan peraturan pemerintah, dan rancangan peraturan Presiden diatur dengan Peraturan Presiden.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 24 tersebut, dibentuklah Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang. Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
Dalam Pasal 25 Undang-Undang No. 10 Th. 2004 dirumuskan bahwa :
(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang.
(3) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tidak berlaku.
(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang di tolak Dewan Perwakilan rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur segala akibat dari penolakan tersebut.

B. PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU)

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) adalah peraturan yang dibentuk oleh Presiden dalam “hal ihwal kegentingan yang memaksa”, oleh karena itu proses pembentukan agak berbeda dengan pembentukan suatu Undang-Undang.
Apabila melihat ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya, dapat diketahui bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) mempunyai hierarki, fungsi dan materi muatan yang sama dengan Undang-Undang, hanya di dalam pembentukannya berbeda dengan Undang-Undang.
Selama ini Undang-Undang selalu dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dan dalam keadaan normal, atau menurut Perubahan UUD 1945 dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan rakyat dan Presiden, serta disahkan oleh Presiden, sedangkan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang (PERPU) dibentuk oleh Presiden tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat karena adanya suatu “hal ihwal kegentingan yang memaksa”.
Penjelasan Pasal 22 Undang-Undang dasar 1945 menyatakan Peratuan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) sebagai suatu “noodverordeningsrecht” Presiden (hak Presiden untuk mengatur dalam kegentingan yang memaksa).
Proses pembentukan suatu Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang (PERPU) berjalan lebih singkat, mengingat pembentukannya dilakukan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Dalam pembentukan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang (PERPU) itu beberapa mata rantai prosesnya dipersingkat.
Dalam Pasal 24 Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dirumuskan bahwa, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, rancangan peraturan pemerintah, dan rancangan peraturan Presiden diatur dengan Peraturan Presiden’.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 24 Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut, saat ini telah berlaku Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden. Menurut Pasal 36 Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005, dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden memerintahkan penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Selanjutnya Presiden akan menugaskan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang kepada Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi materi yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut, yang dalam penyusunannya menteri tersebut berkoordinasi dengan Menteri dan menteri/pimpinan lembaga terkait (Pasal 37 Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005).
Menurut ketentuan dalam Pasal 38 Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005, setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan oleh Presiden, menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi materi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut kemudian menyusun Rancangan Undang-Undang mengenai Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang tersebut kemudian akan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan Pasal 25 dan Pasal 26 Peraturan Presiden ini.
Sesuai dengan sifat dari suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, maka setelah ditetapkan oleh Presiden dan diundangkan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) dapat langsung berlaku mengikat umum, akan tetapi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) tersebut harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dimintakan persetujuannya.



C. PROSES PENETAPAN, DAN PENGUNDANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

Proses Penetapan, dan Pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang saat ini diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan yang dirumuskan sebagai berikut :
“Presiden menetapkan rancangan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, rancangan peraturan pemerintah, dan rancangan peraturan Presiden yang telah disusun berdasarkan ketentuan mengenai tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang, rancangan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, rancangan peraturan pemerintah dan rancangan peraturan Presiden.”
Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, Menteri Sekretaris Negara melakukan penyiapan naskah rancangan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, kemudian Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dengan membubuhkan tanda tangan, sesuai Pasal 8 ayat (2) huruf a dan ayat (3) Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007. Sesudah itu, Menteri Sekretaris Negara membubhkan nomor dan tahun pada naskah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk disampaikan kepada Menteri untuk diundangkan { Pasal 8 ayat (4) huruf a Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007}.
Menteri akan mengundangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia disertai nomor dan tahunnya, dan menempatkan Penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dengan memberikan nomor. {Pasal 9 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) huruf a Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007}.
Selanjutnya Menteri akan menandatangani pengundangan dengan membubuhkan tandatangan pada naskah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan kemudian menyampaikannya kepada Menteri Sekretaris Negara untuk disimpan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 10 Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007).
D. PROSES PEMBERIAN PERSETUJUAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU) OLEH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT.

Dalam sidang pertama Dewan Perwakilan Rakyat setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) tersebut diundangkan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) tersebut akan dikirimkan sebagai suatu Rancangan Undang-Undang kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dengan suatu surat Presiden.
Menurut ketentuan dalam Pasal 36 Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Pasal 36
(1) Pembahasan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan rancangan undang-undang.
(2) Dewan Perwakilan Rakyat hanya menerima atau menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(3) Dalam hal rancangan undang-undang mengenai penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut dinyatakan tidak berlaku.
(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.

Sementara itu, menurut Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 08/DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) tersebut akan dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan prosedur pembahasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari pemerintah, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 136, Pasal 137, dan Pasal 138. Ketentuan tersebut dirumuskan dalam Pasal 140 Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 140
(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut.
(2) Terhadap pembahasan dan penyelesaian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136, Pasal 137, dan Pasal 138, dengan memperhatikan ketentuan yang khusus berlaku bagi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Pemerintah.
Selama pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang diadakan di dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) tersebut dinyatakan tetap mempunyai daya laku dan tetap mengikat umum sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), sampai suatu saat ia dinyatakan ditolak atau disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi suatu Undang-Undang.
Apabila rancangan undang-undang yang berasal dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) tersebut disetujui oleh dewan Perwakilan Rakyat, maka akan menjadi Undang-Undang; sedangkan apabila ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) tersebut harus dicabut.

ANALISA

Bab ini menjelaskan mengenai bagaimana proses pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (PERPU), proses penetapan, dan pengundangan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, serta proses pemberian persetujuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (PERPU) oleh dewan perwakilan rakyat.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) adalah peraturan yang dibentuk oleh Presiden dalam “hal ihwal kegentingan yang memaksa”, sehingga proses pembentukan agak berbeda dengan pembentukan suatu Undang-Undang.
Adapun pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan dalam Pasal 24 Undang-Undang No. 10 Th.2004 bahwa, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, rancangan peraturan pemerintah, dan rancangan peraturan Presiden diatur dengan Peraturan Presiden.
Selanjutnya, tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang. rancangan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, rancangan peraturan pemerintah, dan rancangan peraturan presiden. Dibentuk dalam Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005.
Dalam Pasal 25 Undang-Undang No. 10 Th. 2004 menyatakan bahwasanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tidak berlaku. Serta dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang di tolak Dewan Perwakilan rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur segala akibat dari penolakan tersebut.
Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang (PERPU) dibentuk oleh Presiden tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat karena adanya suatu “hal ihwal kegentingan yang memaksa”. Tidak seperti dalam pembuatan Undang-Undang selalu dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dan dalam keadaan normal, atau menurut Perubahan UUD 1945 dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan rakyat dan Presiden, serta disahkan oleh Presiden.
Bisa kita lihat dalam penjelasan Pasal 22 Undang-Undang dasar 1945 menyatakan Peratuan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) sebagai suatu “noodverordeningsrecht” Presiden (hak Presiden untuk mengatur dalam kegentingan yang memaksa).
Kemudian, Presiden akan menugaskan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang kepada Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi materi yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut, yang dalam penyusunannya menteri tersebut berkoordinasi dengan Menteri dan menteri/pimpinan lembaga.
Selanjutnya, jika dilihat sesuai dengan sifat dari suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, maka setelah ditetapkan oleh Presiden dan diundangkan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) dapat langsung berlaku mengikat umum, akan tetapi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) tersebut harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dimintakan persetujuannya.
Dalam pelaksanaan ketentuan tersebut, Menteri Sekretaris Negara melakukan penyiapan naskah rancangan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, kemudian Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dengan membubuhkan tanda tangan. Sesudah itu, Menteri Sekretaris Negara membubuhkan nomor dan tahun pada naskah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk disampaikan kepada Menteri untuk diundangkan.
Serta yang terakhir ialah pemberian persetujuan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat yaitu didalam sidang pertama Dewan Perwakilan Rakyat setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) tersebut diundangkan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) tersebut akan dikirimkan sebagai suatu Rancangan Undang-Undang kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dengan suatu surat Presiden yang nantinya diproses dan di sahkan oleh Presiden.
Jadi, bisa disimpulkan bahwasanya proses pembentukan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (PERPU) dibentuk oleh Presiden tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat karena adanya suatu “hal ihwal kegentingan yang memaksa.Presiden mempunyai hak untuk mengatur dalam kegentingan yang memaksa.
Saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang PERPU, telah ditetapkan oleh Presiden dan diundangkan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) dapat langsung berlaku mengikat umum, akan tetapi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) tersebut harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dimintakan persetujuannya.
Namun, apabila rancangan undang-undang yang berasal dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) tersebut disetujui oleh dewan Perwakilan Rakyat, maka akan menjadi Undang-Undang; sedangkan apabila ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) tersebut harus dicabut dan tidak berlaku lagi.


DAFTAR PUSTAKA

Maria Farida Indrati S. 2007. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius.
Jilid 2 Bab IV

Wednesday, April 21, 2010

Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Pemerintahan

Menurut Koento Wibisono, mengemukakan bahwa hakekat ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal-mula sehingga seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu.

1. Ontologi
Ontologi ilmu meliputi apa hakekat ilmu itu, apa hakekat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafati tentang apa dan bagaimana (yang) “Ada” itu (being, sein, het zijn). Faham monisme yang terpecah menjadi idealisme dan spiritualisme, materilaisme, dualisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya merupakan paham ontologik yang pada akhirnya menentukan pendapat bahkan “keyakinan” kita masing-masing mengenai apa dan bagaimana (yang) “ada” sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari. Ontologi meliputi tiga segi ilmu, yaitu menurut prioritasnya, menurut nivo pemikirannya dan menurut objeknya. Dalam kaitan ini, ketiga sebutan, yaitu: ‘filsafat pertama’, ‘metafisika umum’, dan ‘ontologi’ dapat dipergunakan indiscrimination (tanpa dibedakan), kecuali sejauh ingin ditunjukkan dengan tepat salah satu segi tertentu.

2. Epistemologi
Epistemologi, atau filsafat pengetahuan, adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat atau skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Epistemologi ilmu meliputi sumber, sarana dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologik akan dnegan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (verstand), akal budi (vernunft), pengalaman, atau kombinasi antara akal, pengalaman, intuisi merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologi, sehingga dikenal adanya model-model epistemologi seperti: rasionalisme, empirisisme, kritisme atau rasionalisme kritis, positivisme, dan fenomenologi dengan berbagai variasinya. Ditunjukkan pula bagaimana kelebihan dan kelemahan sesuatu model epistemologi beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori koherensi, korespondensi, pragmatis, teori intersubjektif dan hermenetics.

3. Aksiologi
Aksiologi meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik material. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine quanon yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu. Aksiologi mencakup nilai-nilai sebagaimana etika dan moral yang secara emperatif menjadi dasar dan arah pengalian, penelitian dan penerapan ilmu.


Implementasi
Dari aspek ontologis ilmu pemerintahan, baik menyangkut definisi maupun objek material dan formal, belum dijumpai adanya kesepahaman. Meskipun demikian ada beberapa titik persamaan mendasar di kalangan ilmuwan pemerintahan, yaitu: Pertama, bahwa ilmu pemerintahan itu ada dan sedang berkembang ke arah kemandirian. Kedua, adanya berbagai paradigma pemerintahan merupakan tanda bahwa ilmu pemerintahan bersifat teoritik konseptual dan tidak semata-mata praktis profesional. Dengan demikian, pemerintahan bukanlah semata-mata keterampilan belaka.
Luasnya dimensi-dimensi yang tercakup dalam disiplin ilmu ini akhirnya banyak menimbulkan masalah kefilsafatilmuan, khususnya dalam upaya penentuan epistemologis dan aksiologisnya. Persoalan pertama berkaitan dengan penentuan batas-batas ilmu pemerintahan (termasuk fokus dan lokusnya). Sedangkan persoalan kedua lebih mengarah pada nilai guna atau segi kemanfatan keilmuan.
Berkaitan dengan aksiologi atau nilai gunanya, ilmu pemerintahan memiliki nilai guna/ fungsi ganda yakni fungsi akademik (penemuan dan pengambangan keilmuan) dan fungsi non-akademik. Penerapan fungsi yang pertama telah dimulai sejak akhir tahun 1940-an bersamaan dengan mulai diterapkannya pola UGM dalam pengajaran ilmu sosial dan politik. Pola UGM berbeda dengan pola UI. Pertama, studi hubungan internasional dislenggarakan oleh satu jurusan yang dinamakan Jurusan Hubungan Internasional yang merupakan salah satu dari enam jurusan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Pola UGM mempunyai jurusan Ilmu Pemerintahan yang sedikit berbeda dengan sub-departemen Politik dan Pemerintahan Indonesia pada Pola UI. Perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa Jurusan Ilmu Pemerintahan juga menawarkan beberapa mata kuliah yang erat kaitannya dengan Ilmu Administrasi. Beberapa diantaranya adalah Teori Organisasi dan Manajemen Pemerintahan, Kebijakan Pemerintah, Analisis Kebijakan Pemerintah. Mata kuliah-mata kuliah seperti itu tidak ditawarkan oleh Departemen Ilmu Politik.


Analisa
ontologi, epistemologi dan aksiologi merupakan bidang garapan filsafat ilmu terutama komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, juga dapat dipergunakan sebagai perspektif dalam melihat berbagai bidang ilmu.
Dengan kata lain, ontologi membahas “apa” (what), epistemologi membahas “bagaimana” (how), dan aksiologi membahas “mengapa” (why). Apabila dihubungkan dengan konsep Bahm dalam artikelnya “What is ‘Science’ ?” maka ontologi dari ilmu adalah problems, epistemologinya adalah methods, dan aksiologinya adalah attitudes. filsafat ilmu terdiri atas tiang-tiang penyangga, yang telah diuraikan sebelumnya, yakni: ontologi, epistemologi dan aksiologi, yang terkait dengan pertanyaan-pertanyaan “apa” (what), “bagaimana” (how), dan “mengapa” (why).
Dalam proses perkembangan kajian budaya politik/ pemerintahan yang pesat seperti itu, filsafat ilmu dengan komponen-komponen yang menjadi tiang-tiang penyangga eksistensi ilmu pengetahuan, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi, akan dapat mengarahkan pada strategi pengembangan kajian budaya politik dan pemerintahan seperti tersebut di atas. Strategi tersebut tidak hanya menyangkut etik dan heuristik, bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan kajian budaya politik/ pemerintahan, akan tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan umat manusia.

Tuesday, April 20, 2010

Otonomi Khusus Sebagai Solusi Masalah Desentralisasi (oleh: Bambang Wibiono)

I. Pendahuluan

Gagasan dan tuntutan federalisme muncul setelah selama tiga dasawarsa kekuasaan orde baru gagal menerjemahkan konsep negara kesatuan sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Konsep negara kesatuan cenderung ditafsirkan identik dengan sentralisasi kekuasaan dan uniformitas struktur pemerintahan. Konsekuensinya, otonoi daerah menjadi suatu yang niscaya. Daerah tidak memeiliki kemerdekaan untuk menentukan masa depannya, tidak memiliki keleluasaan untuk mengelola pendapatan daerah, serta ketiadakpercayaan dari Pusat untuk menentukan sendiri pemimpin bagi daerahnya. Akibatnya masa depan setiap daerah ditentukan semuanya oleh pusat.

Akibat dari tersentralisasinya kekuasaan kepada pemerintah pusat, serta tidak meratanya hasil-hasil pembangunan, maka timbul berbagai pertentangan dan perlawanan dari daerah yang menuntut kemerdekaan dan bahkan keluar dari NKRI. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah mulai mendefinisikan ulang konsep desentralisasi, yang akhirnya dijabarkan menajadi otonomi daerah. Daerah diberi keleluasaan untuk mengatur rumah tangga daerahnya sendiri. Daerah juga mempunyai wewenang untuk mengatur keuangan dan pembangunan di daerahnya dengan disesuaikan dengan kondisi dan kulutur daerah masing-masing.

Namun bagaimanakah permasalah yang timbul dari pelaksanaan otonomi daerah yang ternyata masih menyisakan masalah bagi beberapa daerah. Ternyata masih ada daerah yang menuntut untuk memerdekakan diri dan lepas dari NKRI. Ini diakibatkan oleh akumulasi ketidakpercayaan pada Pemerintah Pusat dalam memajukan daerah dan cenderung diskriminatif tanpa memperhatikan kondisi daerah. Kasus seperti ini dapat dilihat pada konflik di Aceh, Papua, dan bebrapa daerah lainnya. Pada akhirnya untuk mengatasinya Pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan mengenai otonomi khusus bagi beberapa daerah seperti Aceh dan Papua.

II. Pembahasan

Dasar konstitusional penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah pasal 18, 18A dan 18B UUD 1945. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa negara kesatuan republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Dalam pola penyelenggaraan pemerintahan Indonesia, terdiri atas pemerintahan yang bertingkat dari Pemerintah Pusat, provinsi, kabupaten, hingga pemerintahan yang terkecil yakni Desa. Kesatuan-kesatuan pemerintahan yang berada dibawah pemerintah pusat dapat melaksanakan sendiri pemerintahannya dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang telah didelegasikan oleh pemerintahan pusat.

Dalam UUD 1945 mengaskan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Selain itu, pada pasal 18B UUD 1945 juga menyebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khsusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dasar-dasar secara konstitusional yang disebutkan di atas merupakan dasar secara yuridis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dasar pelaksanaan otonomi.

Dalam undang-undang, dasar pelaksanaan otonomi telah termaktub dalam UU No.22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan lahirnya UU No.32 Tahun 2004 tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam UU No.32 Tahun 2004 telah menyebutkan dalam melaksanakan pemerintahan, pemerintah dapat melaksanakan sendiri pemerintahan yang berada di daerah-daerah, menyerahkan sebagian kewenangan kepada daerah-daerah untuk melaksanakan sendiri pemerintahan yang berada di daerah, melimpahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah dan dapat melaksanakan tugas dengan diperbantukan oleh pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dan kepada desa. Berarti asas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam Negara kesatuan republik Indonesia adalah asas sentralisasi, desentralisasi dan tugas pembantuan.

Pada masa kekuasaan Orde Baru melalui UU No.5 Tahun 1974 tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah, pada realitasnya adalah asas sentralisasi. Pemerintah beranggapan bahwa apabila daerah diberikan keleluasaan untuk menyelenggarakan sendiri pemerintahannya, berpotensi akan hilangnya nasionalisme dan berpotensi akan terjadinya disintegrasi bangsa. Sehingga dalam prakteknya pemerintah memberlakukan keberagaman dalam pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia. Hal ini terbukti dengan pembiaran dan tidak mengakui lembaga-lembaga daerah di Indonesia yang telah lama hidup dan berkembang serta dihormati dan dipatuhi oleh masyarakat setempat. Bentuk sentralisasi lain yang dapat kita lihat dalam pelaksanaan pemerintahan pada masa orde baru adalah adanya pengawasan yang sangat ketat dan dominasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap daerah.

Daerah tidak diberikan kesempatan untuk lebih kreatif dalam menyelenggarakan pemerintahannya. Akibatnya pemerintah daerah cenderung pasif dan kewenangan-kewenangan yang dilaksanakan tidak lebih dari apa yang telah digariskan sebelumnya oleh pemerintah pusat. Pelaksanaan pemerintahan yang sangat sentralistik tersebut diibaratkan api dalam sekam yang siap untuk menyala. Meskipun pemerintah dapat meredam dengan kekuatan militer dan birokrasi yang bersifat komandoistik, namun protes dan persoalan integrasi bangsa mencuat manakala pemerintah Orde Baru tumbang. Pasca lengsernya pemerintahan yang sangat sentralistik tersebut, Indonesia mengalami suatu persoalan baru yakni persoalan disintegrasi bangsa.

Akibatnya tidak ada jalan lain bagi pemerintah, yakni dengan memberikan status otonomi bagi daerah. Dasar yuridis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah diberikan untuk melaksanakan otonomi, hal ini seiring dengan lahirnya UU No.22 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Lahirnya UU ini telah melahirkan nuansa baru dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Daerah-daerah khsususnya kabupaten/kota diberikan kesempatan yang besar dalam melaksanakan urusan-urausannya. Persoalan yang baru muncul dalam pelaksanaan otonomi adalah pemerintah provinsi merasa tidak diberikan kewenangan yang besar dibandingkan dengan pemerintah kabupaten/ kota. Akibatnya pemerintah kabupaten/kota merasa memiliki posisi yang sama dengan pemerintah provinsi. Hal ini berdampak kepada para gubernur di Indonesia merasakan kabupaten berada di luar pengawasannya. Tidak jarang para gubernur merasa tidak dihormati oleh pemerintah kabupaten. Dasar pelaksanaan otonomi daerah diperbaharui dengan lahirnya UU No.32 Tahun 2004. UU ini kembali memberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah provinsi untuk melaksanakan otonomi. Artinya, meskipun kesempatan untuk melaksanakan otonomi dititikberatkan pada kabupaten/kota, namun pemerintah provinsi mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota.

Otonomi Luas Sebagai Sebuah Solusi

Berbagai permasalah yang ada selama orde baru yang sentralistik berdampak luas pada penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dengan berbagai pemberontakan dan aksi yang menuntut kemerdekaan menyebabkan perlunya sebuah kebijakan yang mampu menampung aspirasi dan kepentingan daerah. Oleh karena itu untuk menengahi konflik yang berkepanjangan dikeluarkan kebijakan otonomi luas bagi daerah Aceh, Papua, dan Maluku.

Pemberian otonomi khusus kepada Provinsi Daerah istimewa Aceh didasarkan pada, antara lain kondisi riil masyarakat Aceh yang belakangan ini memunculkan pergolakan dalam berbagai bentuk reaksi. Pergolakan itu muncul sebagai akibat dari kebijakan dalam penyelenggaan pemerintahan pada masa lalu yang menitik beratkan pada system yang terpusat. System itulah yang menjadi sumber bagi kemunculan ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika tidak segera direspons dengan aktif dan bijaksana, maka hal tersebut akan dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan konisi tesebut, MPR pada Sidang Umum MPR tahun 1999, merumuskan dalam Gars-Garis Besar Haluan Negara 1999, kebijakan menyangkut Pembangunan Daerah. Dalam kebijakan itu, MPR menetapkan ketentuan khusu untuk tiga Provinsi, yaitu Daerah Istimewa Aceh, Irian Jaya, dan Maluku. Dalam keterangan pemberian status khusus itu disebutkan:

“Dalam rangka pengembangan otonomi daerah di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan bersungguh-sungguh ….” (Ni’matul Huda, 2005: 68)



Untuk Daerah Istimewa Aceh, ditetapkan bahwa:

Mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengharagai social budaya masayrakat Aceh, melalui penetapan Aceh sebagai daerah otonomi khusus “yang diatur dengan undang-undang.”

Menyelesaikan kasus Aceh secara berkeadilan dan bermartabat dengan melakukan pengusutan dan pengadilan yang jujur bagi pelanggaran hak asasi manusia, baik selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer maupun pasca-pemberlakuan Daerah Operasi Militer.

Pemberian otonomi kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyelenggaraan desentralisasi tersebut mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah otonom.

Sedangkan untuk Provinsi Irian jaya Pemerintah mengeluarkan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Otonomi Khusus bagi Provinsi papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas berbarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi papua untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Aspek Yuridis Konstitusional Otonomi Khusus

Pada saat kita merdeka dan sehari kemudian ditetapkan UUD 1945, Pasal 18 dan Penjelasannya memberikan dasar hukum bahwa Negara memandang dan mengingati hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia lalu kita mengenal adanya 2 (dua) daerah istimewa yaitu Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun sejarah juga telah mencatat bahwa sepanjang penyelenggaraan pemerintahan yang sangat dinamis, diantara daerah-darah di Indonesia terdapat daerah-daerah yang secara politis sangat berbeda sehingga perlu diapresiasi. Itulah kenapa MPR-RI pada saat menetapkan GBHN Tahun 1999-2004 mencantumkan hal itu untuk dijadikan acuan kebijakan.

Hadirnya peraturan perundang-undangan tentang otonomi khusus diawali oleh lahirnya Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Ketetapan ini telah merekomendasikan agar segera di bentuk Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001. Secara umum, isi dari Undang-undang ini pada prinsipnya mengatur kewenangan pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang merupakan kekhususan dari kewenangan Pemerintahan Daerah selain yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004 yang menetapkan landasan arah kebijakan pembangunan daerah, salah satunya adalah mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara lebih khusus GBHN mengarahkan bahwa dalam rangka pengembangan otonomi daerah di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan bersungguh-sungguh, maka perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:

Daerah Istimewa Aceh;

Mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah NKRI dengan menghargai kesetaraam dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh melalui penetapan Daerah Istimewa Aceh sebagai daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang.

Menyelesaikan kasus Aceh secara berkeadilan dan bermartabat dengan melakukan pengusutan dan pengadilan yang jujur bagi pelangar hak azasi manusia, baik selama pemberlakuan Daerah operasi militer.

Irian Jaya;

Mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah NKRI dengan menghargai kesetaraam dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang.

Menyelesaikan kasus pelanggaran hak azasi manusia di Irian Jaya melalui proses pengadilan jujur dan bermartabat.

Maluku.

Menugaskan pemerintah untuk segera melaksanakan penyelesaian konflik sosial yang berkepanjangan secara adil, nyata dan menyeluruh serta mendorong masyarakat yang bertikai agar pro-aktif melakukan rekonsialisasi untuk mempertahankan dan memantapkan integrasi nasional.

Setahun kemudian ditetapkan Ketetapan MPR No.IV Tahun 2000 Tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Dari 7 (tujuh) rekomendasi yang ditetapkan, yang nomor 1 ditujukan secara khusus kepada Pemerintah dan DPR agar: Undang-undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya, sesuai amanat Ketetapan MPR No.IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004,agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei Tahun 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan.

Kedua Undang-undang yang diamanatkan MPR tersebut direalisasikan oleh Pemerintah dan DPR pada tahun 2001 yakni dengan diberlakukannya UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Dalam perkembangannya UU No.18 Tahun 2001 diganti dengan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Seiring dengan dinamika politik yang berkembang Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 (yang merupakan salah satu bagian dari amandemen kedua UUD 1945) mengatur bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. Ketentuan tersebut diadopsi dalam Pasal 2 Ayat (8) UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dalam penjelasannya dinyatakan bahwa yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus adalah daerah yang diberikan otonomi khusus, sedangkan daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari uraian tersebut maka otonomi khusus di Indonesia sejalan dengan prinsip universal yakni dilaksanakan dengan pertimbangan politik, secara yuridis konstitusional di Indonesia diberlakukan di Aceh dan Irian Jaya (Papua).

Otonomi Khusus Secara yuridis dasar implementasi adanya otonomi khusus dan istimewa adalah pasal 18B UUD 1945, pasal 18 ayat (1) berbunyi Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dengan demikian, pemerintah NKRI memberikan legitimasi bagi daerah tertentu untuk melaksanakan otonomi khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan. Daerah yang diberikan otonomi khusus adalah daerah Papua dan Aceh.

Papua diberikan otonomi khusus melalui UU No.21 Tahun 2001 dan daerah Aceh melalui UU No.18 Tahun 2001. Otonomi khusus di Papua berupa diberikan eksistensi daerah tersebut dengan diakuinya lembaga adapt Papua serta diberikan penmabahan dana perimbangan antara pusat dan daerah. Sedangkan pada daerah Aceh diberikan kewenangan untuk melaksanakan syarat Islam di daerah tersebut. Secara konfrehensif perbedaan antara daerah yang diberikan otonomi khusus dapat kita lihat pada kedua undang-undang yang telah disahkan tersebut.

Otonomi Khusus di Aceh Diberikannya kesempatan untuk melaksanakan pemerintahan secara khusus di Aceh melalui UU No.18 Tahun 2001 tidak memberikan dampak yang signifikan untuk menghentikan konflik vertikal yang terjadi di daerah itu. Para kalangan menilai bahwa UU tersebut hanya bersifat untuk meredam gejolak semakin memanasnya situasi Aceh untuk memisahkan diri dari NKRI. Sehingga bila kita lihat dasar pemberlakuan UU tersebut hanya dikarenakan kondisi objektif yang memaksa bagi pemerintah. Karenanya konflik masih saja berlangsung di wilayah itu.

Perundingan-perundingan yang dilakukan oleh pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka untuk menghentikan konflik belum menemukan titik terang. Pemerintah Megawati Soekarno Putri sampai memberlakukan status Darurat Militer bagi Aceh setelah gagalnya perundingan Tokyo. Adanya momentum tsunami yang telah banyak menelan korban yang cukup besar di Aceh telah membawa perubahan sikap bagi entitas yang berkonfrontasi untuk memikirkan kembali perundingan demi terciptanya perdamaian di Aceh. Sehingga pemerintah NKRI dan GAM kembali melakukan perundingan pada bulan Januari 2005 yang lalu. Perundingan tersebut melahirkan nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 15 September 2005. amanat dari MoU ini adalah perlunya pengaturan secara konstitusional tentang penyelenggaraan pemerintahan Aceh, pengintegrasian GAM, pemusnahan senjata GAM dan penarikan pasukan TNI/POLRI nonorganik di Aceh. Adanya MoU antara pemerintah dengan GAM telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan nasional.

Sebagian kalangan menilai bahwa semestinya pemerintah tidak perlu melakukan perundingan dengan separatis yang jelas-jelas telah berusaha untuk merusak keutuhan NKRI. Namun demikian, pemerintah tetap melaksanakan penandatanganan kesepakatan dengan tujuan untuk menyelesaikan persoalan Aceh yang telah lama bergejolak. Hal menarik untuk kita kaji adalah implementasi MoU ini telah melahirkan UU No.11 Tahun 2006 tentang penyelenggaraan pemerintahan Aceh. Lahirnya UU ini telah memberikan dinamika baru dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh.

Infrastruktur politik barupun bermunculan dan kewenangan-kewenangan bagi pemerintah Aceh dalam melaksanakan roda pemerintahan di Aceh bertambah sehingga sebagian kalangan nasionalis menilai dengan adanya UU ini telah menjadikan daerah Aceh sebagai daerah yang sangat istimewa dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Hal ini dikarenakan Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa MoU merupakan perjanjian politik bukan perjanjian hukum.

Adanya keraguan dan kecemasan ini akan berpotensi dalam implementasi UU No.11 Tahun 2006 kedepan, karenanya perlu kita kaji kembali penyelenggaraan pemerintahan Aceh melalui UU No.11 tahun 2006 dari sudut Hukum Tata Negara Indonesia. Apakah implementasi UU yang mengatur tentang kekhususan Aceh tersebut berpotensi merusak bentuk NKRI? Hal ini menarik untuk kita diskusikan dan kaji kembali.

Secara teoritis pelaksanaan otonomi daerah berlatar belakang dari adanya tujuan politis dan tujuan administratif yang ingin dicapai oleh pemerintah suatu negara. Maddick (1963 dalam Riyadmadji, 2007) menyatakan bahwa secara rasional tujuan politisnya ialah adanya kebutuhan untuk menciptakan civic consciousness dan political maturity melalui pemerintah daerah. Lebih lanjut Maddick berargumen bahwa "The spread of political maturity can be affected through popular participation and a responsive government that can convert local needs into policies and be accountable to the people".

Argumen yang senada juga dinyatakan oleh Loughlin (1981:1, dalam Ibid.) yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan daerah perlu untuk mengakomodasikan pluralisme dalam suatu negara modern yang demokratis. Sedangkan Smith (1985) berargumen bahwa keberadaan pemerintah daerah perlu untuk mencegah munculnya kecenderungan sentrifugal karena perbedaan etnis, agama dan unsur-unsur primordial lainnya dalam daerah-daerah yang berbeda.

Sementara itu dari tujuan administratif alasan rasional membentuk pemerintahan daerah adalah untuk mencapai efisiensi ekonomis melalui desentralisasi perencanaan, pengambilan keputusan, pengadaan pelayanan masyarakat dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pembangunan. Dari sini lahir suatu kebutuhan untuk membentuk unit-unit pemerintahan di tingkat lokal (sub national governments) baik atas prinsip devolusi/ desentralisasi maupun atas dasar prinsip dekonsentrasi.

Kedua jenis pilihan tersebut akan mempunyai implikasi yang sangat berbeda dan menurut Rondinelli (1984), adanya kecenderungan dari pemerintah negara-negara di dunia untuk mengkombinasikan pilihan-pilihan tersebut walaupun dengan memberikan titik berat pada salah satu prinsip (desentralisasi atau dekonsentrasi).

Dari tataran teoritis dan bukti-bukti empirik tersebut terlihat bahwa masalah otonomi selalu berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan otonomi sangat berkait erat dengan perkembangan politik di tingkat nasional. Nature dari politik di tingkat nasional akan mewarnai nature politik di tingkat lokal dan pada gilirannya akan mewarnai politik desentralisasi yang diterapkan oleh pemerintah yang berkuasa.

Secara akademis hakekat otonomi daerah merupakan refleksi dari power sharing yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah. Dalam kaitan ini terdapat beberapa kewenangan pusat yang tidak dapat diserahkan kepada daerah yaitu pertahanan keamanan, hubungan luar negeri, serta urusan moneter dan fiskal. Di luar itu pada dasarnya urusan-urusan Pemerintah Pusat dapat didesentralisasikan ke daerah.

Sementara itu pelaksanaan otonomi khusus di beberapa negara merupakan refleksi dari pendekatan desentralisasi yang asimetrik (asymetric decentralization). Artinya kebijakan desentralisasi yang diterapkan di daerah-daerah yang diberi otonomi khusus tersebut tidaklah simetris dengan desentralisasi di daerah otonom lainnya.

Philipina yang memberlakukan otonomi khusus di Mindanao Selatan, Spanyol yang memberlakukan otonomi khusus di Basque, Canada yang memperlakukan otonomi khusus di Quebec semuanya didasari karena adanya kelompok minoritas yang ingin memisahkan diri, lalu daripada memisahkan diri diberlakukan kebijakan desentralisasi yang bersifat khusus dengan memberikan otonomi khusus. Dengan demikian secara akademis pendekatan asimetrik tersebut dilakukan untuk mengakomodasikan perbedaan yang tajam yang terjadi di daerah-daerah khusus dengan yang berlaku umum di bagian lain dari sebuah negara. Dengan kata lain otonomi khusus diberlakukan karena pilihan itu berbobot politik yang sangat kental.

Bila demikian maka dari tataran akademik tersebut maka otonomi khusus di Indonesia memang hanya diberlakukan pada 2 (dua) daerah yaitu Aceh dan Irian Jaya yang secara politis perlu treatment secara khusus di bidang kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.

Secara substantif, pengaturan dalam UU Otsus selalu mencantumkan adanya hak-hak khusus yang diberlakukan di daerah tersebut yang dalam bahasa pengaturan dapat berupa dana tambahan, dana otsus, dana kelebihan bagi hasil dan seterusnya. Dan substansi ini yang paling gampang diserap pengertiannya dengan menyimpulkan bahwa bila berlaku otsus berarti khusus pula bagi hasil dan dana tambahannya.

III. Kesimpulan

Pada dasarnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia masing-masing daerah berpeluang memiliki potensi untuk mengembangkan sektor unggulan sesuai dengan karakteristik,kekhasan dan potensi unggulan daerah tersebut. Itulah sebabnya dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur dalam Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) tentang hal tersebut diatur dengan istilah urusan pilihan. Sayang untuk hal ini belum diaktualisasi secara optimal oleh masing-masing daerah pada umumnya.

Apabila hal tersebut dapat diaktualisasi secara optimal, sebenarnya tidak perlu terjadi wacana otonomi khusus lagi. Lebih-lebih bila tafsir otonomi khusus dijauhkan dari konsep sebenarnya, dan sebaliknya hanya diidentikkan dengan tuntutan ingin memperoleh perlakuan yang khusus dari bagi hasil sumber daya alam yang ada di daerahnya dan semacamnya, sambil melupakan daerah lain yang miskin sumber daya alam. Namun bagaimanapun Otonomi Khusus yang sudah berjalan merupakan langkah untuk memperbaiki pemerintahan di daerah guna mencapai good local governance dan mempercepat proses demokratisasi.







Daftar Pustaka http://duniapolitiku.blogspot.com/2008/10/otonomi-khusus.html

Azmi, Zul. 2008, “Dilematika Otonomi Khusus Aceh” Artikel dalam http://www.peoplecrisiscentre.org

Hoessein, Bhenyamin. 2002, “Perspektif Jangka Panjang Desentralisasi dan Otonomi Daerah”, Makalah Diskusi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah dalam Jangka Panjang, Bappenas, 27 Nopember 2002.

Huda, Ni’matul. 2005, Otonomi Daerah: Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan Problematika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Riyadmadji, Dodi. 2007. “Mengapa Otonomi Khusus?”, artikel dalam http://www.ditjen-otda.go.id

Rozali, Abdullah. 2005, Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, PT Raja Grafindo, Jakarta.

Sabarno, Hari. 2007, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika, Jakarta.

Soebiantoro, M, dkk. 2007, Politik dan Pemerintahan Lokal, FISIP-Unsoed, Purwokerto.

Sumule, Agus. 2003, Satu Setengah Tahun Otsus Papua: Refleksi dan Prospek, Penerbit Yayasan ToPanG, Manokwari.

PRINSIP DASAR PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH (olehDr. Ir. Herry Darwanto, M.Sc Sumber: bappenas.go.id)

Setiap daerah mempunyai corak pertumbuhan ekonomi yang berbeda dengan daerah lain. Oleh sebab itu perencanaan pembangunan ekonomi suatu daerah pertama-tama perlu mengenali karakter ekonomi, sosial dan fisik daerah itu sendiri, termasuk interaksinya dengan daerah lain. Dengan demikian tidak ada strategi pembangunan ekonomi daerah yang dapat berlaku untuk semua daerah. Namun di pihak lain, dalam menyusun strategi pembangunan ekonomi daerah, baik jangka pendek maupun jangka panjang, pemahaman mengenai teori pertumbuhan ekonomi wilayah, yang dirangkum dari kajian terhadap pola-pola pertumbuhan ekonomi dari berbagai wilayah, merupakan satu faktor yang cukup menentukan kualitas rencana pembangunan ekonomi daerah.
Keinginan kuat dari pemerintah daerah untuk membuat strategi pengembangan ekonomi daerah dapat membuat masyarakat ikut serta membentuk bangun ekonomi daerah yang dicita-citakan. Dengan pembangunan ekonomi daerah yang terencana, pembayar pajak dan penanam modal juga dapat tergerak untuk mengupayakan peningkatan ekonomi. Kebijakan pertanian yang mantap, misalnya, akan membuat pengusaha dapat melihat ada peluang untuk peningkatan produksi pertanian dan perluasan ekspor. Dengan peningkatan efisiensi pola kerja pemerintahan dalam pembangunan, sebagai bagian dari perencanaan pembangunan, pengusaha dapat mengantisipasi bahwa pajak dan retribusi tidak naik, sehingga tersedia lebih banyak modal bagi pembangunan ekonomi daerah pada tahun depan.
Pembangunan ekonomi daerah perlu memberikan solusi jangka pendek dan jangka panjang terhadap isu-isu ekonomi daerah yang dihadapi, dan perlu mengkoreksi kebijakan yang keliru. Pembangunan ekonomi daerah merupakan bagian dari pembangunan daerah secara menyeluruh. Dua prinsip dasar pengembangan ekonomi daerah yang perlu diperhatikan adalah (1) mengenali ekonomi wilayah dan (2) merumuskan manajemen pembangunan daerah yang pro-bisnis.


I. Mengenali Ekonomi Wilayah
Isu-isu utama dalam perkembangan ekonomi daerah yang perlu dikenali adalah antara lain sebagai berikut.
a. Perkembangan Penduduk dan Urbanisasi
Pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama pertumbuhan ekonomi, yang mampu menyebabkan suatu wilayah berubah cepat dari desa pertanian menjadi agropolitan dan selanjutnya menjadi kota besar. Pertumbuhan penduduk terjadi akibat proses pertumbuhan alami dan urbanisasi. Petumbuhan alami penduduk menjadi faktor utama yang berpengaruh pada ekonomi wilayah karena menciptakan kebutuhan akan berbagai barang dan jasa. Penduduk yang bertambah membutuhkan pangan. Rumah tangga baru juga membutuhkan rumah baru atau renovasi rumah lama berikut perabotan, alat-alat rumah tangga dan berbagai produk lain. Dari sini kegiatan pertanian dan industri berkembang.
Urbanisasi dilakukan oleh orang-orang muda usia yang pergi mencari pekerjaan di industri atau perusahaan yang jauh dari tempat dimana mereka berasal. Perpindahan ke wilayah lain dari desa atau kota kecil telah menjadi tren dari waktu ke waktu akibat pengaruh dari televisi, perusahaan pengerah tenaga kerja, dan berbagai sumber lainnya. Suatu kajian mengindikasikan bahwa pendidikan berkaitan erat dengan perpindahan ini. Secara umum semakin tinggi tingkat pendidikan maka tingkat perpindahan pun semakin tinggi. Hal ini semakin meningkat dengan semakin majunya telekomunikasi, komputer dan aktivitas high tech lainnya yang memudahkan akses keluar wilayah.
Urbanisasi orang-orang muda ini dipandang pelakunya sebagai penyaluran kebutuhan ekonomi mereka namun merupakan peristiwa yang kurang menguntungkan bagi wilayah itu bila terjadi dalam jumlah besar. Untuk mengurangi migrasi keluar ini masyarakat perlu untuk mulai melatih angkatan kerja pada tahun-tahun pertama usia kerja dengan memberikan pekerjaan sambilan, selanjutnya merencanakan masa depan mereka sebagai tenaga dewasa yang suatu saat akan membentuk keluarga. Sebagai dorongan bagi mereka untuk tetap tinggal adalah dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang sesuai.
Lembaga pendidikan/pelatihan dan dunia usaha perlu menyadari adanya kebutuhan untuk membangun hubungan kerjasama. Pendidikan mencari cara agar mereka cukup berguna bagi pengusaha lokal dan pengusaha lokal mengandalkan pada pendidikan untuk meningkatkan kemampuan tenaga kerja lokal. Jika metode pendidikan yang ada tidak dapat mengatasi tantangan yang dihadapi, maka ada keperluan untuk mendatangkan tenaga ahli dari wilayah lain untuk memberikan pelatihan yang dapat mensuplai tenaga kerja terampil bagi pengusaha lokal.
b. Sektor Pertanian
Di setiap wilayah berpenduduk selalu terjadi kegiatan pembangunan, namun ada beberapa wilayah yang pembangunannya berjalan di tempat atau bahkan berhenti sama sekali, dan wilayah ini kemudian menjadi wilayah kelas kedua dalam kegiatan ekonomi. Hal ini mengakibatkan penanam modal dan pelaku bisnis keluar dari wilayah tersebut karena wilayah itu dianggap sudah tidak layak lagi untuk dijadikan tempat berusaha. Akibatnya laju pertumbuhan ekonomi wilayah itu menjadi semakin lambat.
Upaya pengembangan sektor agribisnis dapat menolong mengembangkan dan mempromosikan agroindustri di wilayah tertinggal. Program kerjasama dengan pemilik lahan atau pihak pengembang untuk mau meminjamkan lahan yang tidak dibangun atau lahan tidur untuk digunakan sebagai lahan pertanian perlu dikembangkan. Dari jumlah lahan pertanian yang tidak produktif ini dapat diciptakan pendapatan dan lapangan kerja bagi penganggur di perdesaan. Program kerjasama mengatasi keterbatasan modal, mengurangi resiko produksi, memungkinkan petani memakai bahan baku impor dan produk yang dihasilkan dapat mampu bersaing dengan barang impor yang sejenis serta mencarikan dan membuka pasaran yang baru.
Faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi dapat berasal dari dalam wilayah maupun dari luar wilayah. Globalisasi adalah faktor luar yang dapat menyebabkan merosotnya kegiatan ekonomi di suatu wilayah. Sebagai contoh, karena kebijakan AFTA, maka di pasaran dapat terjadi kelebihan stok produk pertanian akibat impor dalam jumlah besar dari negara ASEAN yang bisa merusak sistem dan harga pasar lokal. Untuk tetap dapat bersaing, target pemasaran yang baru harus segera ditentukan untuk menyalurkan kelebihan hasil produksi pertanian dari petani lokal. Salah satu strategi yang harus dipelajari adalah bagaimana caranya agar petani setempat dapat mengikuti dan melaksanakan proses produksi sampai ke tingkat penyaluran. Namun daripada bersaing dengan produk impor yang masuk dengan harga murah, akan lebih baik jika petani setempat mengolah komoditi yang spesifik wilayah tersebut dan menjadikannya produk yang bernilai jual tinggi untuk kemudian disebarluaskan di pasaran setempat maupun untuk diekspor.
Apa yang telah terjadi di Pulau Jawa kiranya perlu dihindari oleh daerah-daerah lain. Pengalihan fungsi sawah menjadi fungsi lain telah terjadi tanpa sulit dicegah. Hal ini mengurangi pemasukan ekonomi dari sektor pertanian di wilayah tersebut, disamping itu juga menghilangkan kesempatan untuk menjadikan wilayah yang mandiri dalam pengadaan pangan, termasuk mengurangi kemungkinan berkembangnya wisata ekologi yang memerlukan lahan alami.
c. Sektor Pariwisata
Pariwisata memberikan dukungan ekonomi yang kuat terhadap suatu wilayah. Industri ini dapat menghasilkan pendapatan besar bagi ekonomi lokal. Kawasan sepanjang pantai yang bersih dapat menjadi daya tarik wilayah, dan kemudian berlanjut dengan menarik turis dan penduduk ke wilayah tersebut. Sebagai salah satu lokasi rekreasi, kawasan pantai dapat merupakan tempat yang lebih komersial dibandingkan kawasan lain, tergantung karakteristiknya. Sebagai sumber alam yang terbatas, hal penting yang harus diperhatikan adalah wilayah pantai haruslah menjadi aset ekonomi untuk suatu wilayah.
Wisata ekologi memfokuskan pada pemanfaatan lingkungan. Kawasan wisata ekologi merupakan wilayah luas dengan habitat yang masih asli yang dapat memberikan landasan bagi terbentuknya wisata ekologi. Hal ini merupakan peluang unik untuk menarik pasar wisata ekologi. Membangun tempat ini dengan berbagai aktivitas seperti berkuda, surfing, berkemah, memancing dll. akan dapat membantu perluasan pariwisata serta mengurangi kesenjangan akibat pengganguran.
Wisata budaya merupakan segmen yang berkembang cepat dari industri pariwisata. Karakter dan pesona dari desa/kota kecil adalah faktor utama dalam menarik turis. Namun kegiatan pariwisata bersifat musiman, sehingga banyak pekerjaan bersifat musiman juga, yang dapat menyebabkan tingginya tingkat pengangguran pada waktu-waktu tertentu. Hal ini menyebabkan ekonomi lokal dapat rentan terhadap perputaran siklus ekonomi.
Ekonomi wilayah sebaiknya tidak berbasis satu sektor tertentu. Keaneka-ragaman ekonomi diperlukan untuk mempertahankan lapangan pekerjaan dan untuk menstabilkan ekonomi wilayah. Ekonomi yang beragam lebih mampu bertahan terhadap konjungtur ekonomi.
d. Kualitas Lingkungan
Persepsi atas suatu wilayah, apakah memiliki kualitas hidup yang baik, merupakan hal penting bagi dunia usaha untuk melakukan investasi. Investasi pemerintah daerah yang meningkatkan kualitas hidup masyarakat sangat penting untuk mempertahankan daya saing. Jika masyarakat ingin menarik modal dan investasi, maka haruslah siap untuk memberi perhatian terhadap: keanekaragaman, identitas dan sikap bersahabat. Pengenalan terhadap fasilitas untuk mendorong kualitas hidup yang dapat dinikmati oleh penduduk suatu wilayah dan dapat menarik bagi investor luar perlu dilakukan.
Kawasan bersejarah adalah pembentuk kualitas lingkungan yang penting. Pelestarian kawasan bersejarah berkaitan dengan berbagai aspek ekonomi lokal seperti keuangan daerah, permukiman, perdagangan kecil, dan pariwisata dengan menciptakan pekerjaan yang dapat signifikan. Kegiatan ini memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup, meningkatkan citra masyarakat dan menarik kegiatan ekonomi yang menghasilkan pendapatan bagi penduduk. Pelestarian kawasan bersejarah memberikan perlindungan kepada warisan budaya dan membuat masyarakat memiliki tempat yang menyenangkan untuk hidup. Investor dan developer umumnya menilai kekuatan wilayah melalui kualitas dan karakter dari wilayahnya, salah satunya adalah terpeliharanya kawasan bersejarah.
Selain aset alam dan budaya, sarana umum merupakan penarik kegiatan bisnis yang penting. Untuk melihat dan mengukur tingkat kenyamanan hidup pada suatu wilayah dapat dilihat dari ketersediaan sarana umum di wilayah tersebut. Sarana umum merupakan kerangka utama dari pembangunan ekonomi dan sarana umum ini sangat penting bagi aktivitas masyarakat. Sarana umum yang palling dasar adalah jalan, pelabuhan, pembangkit listrik, sistim pengairan, sarana air bersih, penampungan dan pengolahan sampah dan limbah, sarana pendidikan seperti sekolah, taman bermain, ruang terbuka hijau, sarana ibadah, dan masih banyak fasilitas lainnya yang berhubungan dengan kegiatan sehari-hari masyarakat.
Kepadatan, pemanfaatan lahan dan jarak merupakan tiga faktor utama dalam pengembangan sarana umum yang efektif. Semakin padat dan rapat penduduk, biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan sarana umum jauh lebih murah jika dilihat daya tampung per unitnya. Pola pembangunan yang padat, kompak dan teratur, berbiaya lebih murah daripada pembangunan yang linier atau terpencar-pencar. Semakin efisien biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan dan pengadaan sarana umum maka akan semakin memperkokoh dan memperkuat pembangunan ekonomi wilayah tersebut.
Sarana umum yang baru perlu dibangun sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Idealnya fasilitas sarana umum yang ada harus dapat menampung sesuai dengan kapasitas maksimalnya, sehingga dapat memberikan waktu untuk dapat membangun sarana umum yang baru. Penggunaan lahan dan sarana umum haruslah saling berkaitan satu sama lainnya. Perencana pembangunan seharusnya dapat memprediksikan arah pembangunan yang akan berlangsung sehingga dapat dibuat sarana umum yang baru untuk menunjang kegiatan masyarakat pada wilayah tersebut. Penyediaan sarana dapat juga dilakukan dengan memberikan potongan pajak dan ongkos kompensasi berupa pengelolaan sarana umum kepada sektor swasta yang bersedia membangun fasilitas umum.
Wilayah pinggiran biasanya memiliki karakter sebagai wilayah yang tidak direncanakan, berkepadatan rendah dan tergantung sekali keberadaannya pada penggunaan lahan yang ada. Tempat seperti ini akan membuat penyediaan sarana umum menjadi sangat mahal. Dalam suatu wilayah antara kota, desa dan tempat-tempat lainnya harus ada satu kesatuan. Pemerintah daerah perlu mengenali pola pengadaan sarana umum di suatu wilayah yang efektif, baik di wilayah lama maupun di wilayah pinggiran.
e.Keterkaitan Wilayah dan Aglomerasi
Kemampuan wilayah untuk mengefisienkan pergerakan orang, barang dan jasa adalah komponen pembangunan ekonomi yang penting. Suatu wilayah perlu memiliki akses transportasi menuju pasar secara lancar. Jalur jalan yang menghubungkan suatu wilayah dengan kota-kota lebih besar merupakan prasarana utama bagi pengembangan ekonomi wilayah. Pelabuhan laut dan udara berpotensi untuk meningkatkan hubungan transportasi selanjutnya. Pemeliharaan jaringan jalan, perluasan jalur udara, jalur air diperlukan untuk meningkatkan mobilitas penduduk dan pergerakan barang. Pembangunan prasarana diperlukan untuk meningkatkan daya tarik dan daya saing wilayah. Mengenali kebutuhan pergerakan yang sebenarnya perlu dilakukan dalam merencanakan pembangunan tarsnportasi.
Umumnya usaha yang sama cenderung beraglomerasi dan membentuk kelompok usaha dengan karakter yang sama serta tipe tenaga kerja yang sama. Produk dan jasa yang dihasilkan juga satu tipe. Sumber daya alam dan industri pertanian biasanya berada di tahap awal pembangunan wilayah dan menciptakan kesempatan yang potensial untuk perkembangan wilayah. Pengelompokan usaha (aglomerasi) berarti semua industri yang saling berkaitan saling membagi hasil produk dan keuntungan. Pengelompokan itu juga menciptakan potensi untuk menciptakan jaringan kerjasama yang dapat membangun kegiatan pemasaran bersama dan untuk menarik kegiatan lainnya yang berkaitan ke depan atau ke belakang.
Pertumbuhan ekonomi yang sehat sangat penting jika suatu wilayah ingin bersaing di pasar lokal dan nasional. Untuk mencapai tujuan ini, pendekatan kawasan yang terpadu diperlukan untuk mempromosikan pembangunan ekonomi. Prioritas utama adalah mengidentifikasi kawasan-kawasan yang menunjukkan tanda-tanda aglomerasi dengan seluruh kegiatan dan institusi yang membentuknya. Kemungkinan kawasan ini menjadi pusat usaha dan perdagangan tergantung pada jaringan transportasi yang baik, prasarana yang lengkap, tempat kerja yang mudah dicapai, dukungan modal, dan kesempatan pelatihan/pendidikan.
II. Manajemen Pembangunan Daerah Yang Pro-Bisnis
Pemerintah daerah dan pengusaha adalah dua kelompok yang paling berpengaruh dalam menentukan corak pertumbuhan ekonomi daerah. Pemerintah daerah, mempunyai kelebihan dalam satu hal, dan tentu saja keterbatasan dalam hal lain, demikian juga pengusaha. Sinergi antara keduanya untuk merencanakan bagaimana ekonomi daerah akan diarahkan perlu menjadi pemahaman bersama. Pemerintah daerah mempunyai kesempatan membuat berbagai peraturan, menyediakan berbagai sarana dan peluang, serta membentuk wawasan orang banyak. Tetapi pemerintah daerah tidak mengetahui banyak bagaimana proses kegiatan ekonomi sebenarnya berlangsung. Pengusaha mempunyai kemampuan mengenali kebutuhan orang banyak dan dengan berbagai insiatifnya, memenuhi kebutuhan itu. Aktivitas memenuhi kebutuhan itu membuat roda perekonomian berputar, menghasilkan gaji dan upah bagi pekerja dan pajak bagi pemerintah. Dengan pajak, pemerintah daerah berkesempatan membentuk kondisi agar perekonomian daerah berkembang lebih lanjut.
Pemerintah daerah dalam mempertahankan keberlanjutan pembangunan ekonomi daerahnya agar membawa dampak yang menguntungkan bagi penduduk daerah perlu memahami bahwa manajemen pembangunan daerah dapat memberikan pengaruh yang baik guna mencapai tujuan pembangunan ekonomi yang diharapkan. Bila kebijakan manajemen pembangunan tidak tepat sasaran maka akan mengakibatkan perlambatan laju pertumbuhan ekonomi. Maka manajemen pembangunan daerah mempunyai potensi untuk meningkatkan pembangunan ekonomi serta menciptakan peluang bisnis yang menguntungkan dalam mempercepat laju pertumbuhan ekonomi daerah. Prinsip-prinsip manajemen pembangunan yang pro-bisnis adalah antara lain sebagai berikut.
a. Menyediakan Informasi kepada Pengusaha
Pemerintah daerah dapat memberikan informasi kepada para pelaku ekonomi di daerahnya ataupun di luar daerahnya kapan, dimana, dan apa saja jenis investasi yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan yang akan datang. Dengan cara ini maka pihak pengusaha dapat mengetahui arah kebijakan pembangunan daerah yang diinginkan pemerintah daerah, sehingga dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan dalam kegiatan apa usahanya akan perlu dikembangkan. Pemerintah daerah perlu terbuka mengenai kebijakan pembangunannya, dan informasi yang diterima publik perlu diupayakan sesuai dengan yang diinginkan.

b. Memberikan Kepastian dan Kejelasan Kebijakan
Salah satu kendala berusaha adalah pola serta arah kebijakan publik yang berubah-ubah sedangkan pihak investor memerlukan ada kepastian mengenai arah serta tujuan kebijakan pemerintah. Strategi pembangunan ekonomi daerah yang baik dapat membuat pengusaha yakin bahwa investasinya akan menghasilkan keuntungan di kemudian hari. Perhatian utama calon penanam modal oleh sebab itu adalah masalah kepastian kebijakan. Pemerintah daerah akan harus menghindari adanya tumpang tindih kebijakan jika menghargai peran pengusaha dalam membangun ekonomi daerah. Ini menuntut adanya saling komunikasi diantara instansi-instansi penentu perkembangan ekonomi daerah. Dengan cara ini, suatu instansi dapat mengetahui apa yang sedang dan akan dilakukan instansi lain, sehingga dapat mengurangi terjadinya kemiripan kegiatan atau ketiadaan dukungan yang diperlukan.
Pengusaha juga mengharapkan kepastian kebijakan antar waktu. Kebijakan yang berubah-ubah akan membuat pengusaha kehilangan kepercayaan mengenai keseriusannya membangun ekonomi daerah. Pengusaha daerah umumnya sangat jeli dengan perilaku pengambil kebijakan di daerahnya. Kerjasama yang saling menguntungkan mensyaratkan adanya kepercayaan terhadap mitra usaha. Membangun kepercayaan perlu dilakukan secara terencana dan merupakan bagian dari upaya pembangunan daerah.
c. Mendorong Sektor Jasa dan Perdagangan
Sektor ekonomi yang umumnya bekembang cepat di kota-kota adalah sektor perdagangan kecil dan jasa. Sektor ini sangat tergantung pada jarak dan tingkat kepadatan penduduk. Persebaran penduduk yang berjauhan dan tingkat kepadatan penduduk yang rendah akan memperlemah sektor jasa dan perdagangan eceran, yang mengakibatkan peluang kerja berkurang. Semakin dekat penduduk, maka interaksi antar mereka akan mendorong kegiatan sektor jasa dan perdagangan. Seharusnya pedagang kecil mendapat tempat yang mudah untuk berusaha, karena telah membantu pemerintah daerah mengurangi pengangguran. Pada waktunya pengusaha kecil akan membayar pajak kepada pemerintah daerah. Dengan menstimulir usaha jasa dan perdagangan eceran, pertukaran ekonomi yang lebih cepat dapat terjadi sehingga menghasilkan investasi yang lebih besar. Adanya banyak pusat-pusat pedagang kaki lima yang efisien dan teratur akan menarik lebih banyak investasi bagi ekonomi daerah dalam jangka panjang.
Sebagian besar lapangan kerja yang ada dalam suatu wilayah diciptakan oleh usaha kecil dan menengah. Namun usaha kecil juga rentan terhadap ketidakstabilan, yang terutama berkaitan dengan pasar dan modal, walaupun secara umum dibandingkan sektor skala besar, usaha kecil dan menengah lebih tangguh menghadapi krisis ekonomi. Pemerintah daerah perlu berupaya agar konjungtur ekonomi tidak berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha kecil.
d. Meningkatkan Daya Saing Pengusaha Daerah
Kualitas strategi pembangunan ekonomi daerah dapat dilihat dari apa yang akan dilakukan pemerintah daerah dalam menyiapkan pengusaha-pengusaha di daerahnya menghadapi persaingan global. Globalisasi (atau penduniaan) akan semakin mempengaruhi perkembangan ekonomi daerah dengan berlakunya perjanjian AFTA, APEC dan lain-lain. Mau tidak mau, siap atau tidak siap perdagangan bebas akan menjadi satu-satunya pilihan bagi masyarakat di semua daerah. Upaya untuk menyiapkan pengusaha daerah oleh sebab itu perlu dilakukan. Pengusaha dari negara maju telah siap atau disiapkan sejak lama. Pengusaha daerah juga perlu diberitahu konsekuensi langsung dari ketidaksiapan menghadapi perdagangan bebas. Saat ini, pengusaha lokal mungkin masih dapat meminta pengertian manajer supermarket untuk mendapatkan tempat guna menjual produksinya. Tahun depan, bisa tidak ada toleransi untuk produksi lokal yang tidak lebih murah, tidak lebih berkualitas dan tidak lebih tetap pasokannya.
Meningkatkan daya saing adalah dengan meningkatkan persaingan itu sendiri. Ini berarti perlakuan-perlakukan khusus harus ditinggalkan. Proteksi perlu ditiadakan segera ataupun bertahap. Pengembangan produk yang sukses adalah yang berorientasi pasar, ini berarti pemerintah daerah perlu mendorong pengusaha untuk selalu meningkatkan efisiensi teknis dan ekonomis. Peraturan perdagangan internasional harus diperkenalkan dan diterapkan. Perlu ada upaya terencana agar setiap pejabat pemerinah daerah mengerti peraturan-peraturan perdagangan internasional ini, untuk dapat mendorong pengusaha-pengusaha daerah menjadi pemain-pemain yang tangguh dalam perdagangan bebas, baik pada lingkup daerah, nasional maupun internasional.
e. Membentuk Ruang yang Mendorong Kegiatan Ekonomi
Membentuk ruang khusus untuk kegiatan ekonomi akan lebih langsung menggerakkan kegiatan ekonomi. Pemerintah daerah perlu berusaha mengantisipasi kawasan-kawasan mana yang dapat ditumbuhkan menjadi pusat-pusat perekonomian wilayah. Kawasan-kawasan yang strategis dan cepat tumbuh ini dapat berupa kawasan yang sudah menunjukkan tanda-tanda aglomerasi, seperti sentra-sentra produksi pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan; klaster industri, dsb. Kawasan cepat tumbuh juga dapat berupa kawasan yang sengaja dibangun untuk memanfaatkan potensi SDA yang belum diolah, seperti yang dulu dikembangkan dengan sistim permukiman transmigrasi. Kawasan-kawasan ini perlu dikenali dan selanjutnya ditumbuhkan dengan berbagai upaya pengembangan kegiatan ekonomi, seperti pengadaan terminal agribisnis, pengerasan jalan, pelatihan bisnis, promosi dsb. Pengembangan kawasan-kawasan strategis dan cepat tumbuh ini perlu dilakukan bersamaan dengan upaya peningkatan keterampilan, pengembangan usaha, dan penguatan keberdayaan masyarakat.

Hubungan pusat dan daerah

Bentuk-bentuk desentralisasi :
1. Dekonsentrasi adalah distribusi pertanggungjawaban administrasi yang ada di dalam pemerintahan pusat atau adanya pemindahan beban kerja dari pemerintahan pusat kepada staff sendiri yang bertempat pada kantor-kantor di luar ibu kota nasional, tanpa memindahkan kepada meraka kewenangan untuk membuat keputusan atau untuk mengevaluasi dan mengkaji pelaksanaan kebijaksanaan.
2. Delegasi adalah pendelegasian pembuatan keputusan dan otoritas manajemen untuk fungsi khusus kepada organisasi yang tidak berada di bawah pengawasan langsung dari pembagian daerah dan perencanaan regional
3. Devolusi adalah bentuk desentralisasi untuk menciptakan atau memperkuat tingkat kebebasan unit-unit pemerintah melalui devolusi fungsi dan kewenangan yang berada di luar pengawasan pusat secara langsung.
4. Privatisasi adalah desentralisasi melalui pemindahan /penyerahan berbagai tanggungjawab perencanaan dan administrasi atau fungsi umu dari pemerintahan kepada lembaga-lembaga sukarela/swasta atau non pemerintah (swastanisasi)
Pelaksanaan otonomi di indonesia
1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
Urusan pemerintahan
 Absolut (mutlak kewenangan pusat) : Hankam, Moneter dan fikal nasional, Yustisi,Politik luar negeri, Agama
 Concurrent (kewenangan bersama pusat, provinsi, kab/kota) : Pilihan/optional (sektor unggulan), Wajib/obligatory (pelayanan dasar)---SPM (standar Pelayanan Minimal)
Asas-asas pemerintahan daerah
1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;
2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah; dan
3. Tugas Pembantuan, tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.