Artikel utama: Badan Permusyawaratan Desa
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Pimpinan dan Anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa. BPD berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat
Badan Permusyawaratan Desa
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Pimpinan dan Anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa. BPD berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Sebagai lembaga baru yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) dan Peraturan Daerah (Perda), keberadaan Badan Perwakilan Desa (BPD) ini belum banyak dikenal. Oleh karena itu, fungsinya sebagai penampung dan penyalur aspirasi masyarakat di desa belum banyak dimanfaatkan. Ironisnya, pengurus yang tergabung dalam wadah ini bahkan belum memahami betul apa yang menjadi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari BPD itu sendiri. Akibatnya, sering terjadi kesalahpahaman antara BPD dan perbekel serta perangkatnya yang selama ini menjadi penguasa tunggal di desa. Lantas, bagaimana upaya BPD memperkecil kesalahpahaman itu?
Berbagai permasalahan harus diakui memang sering muncul di masyarakat desa, seperti masalah adat, perebutan perbatasan wilayah dan lainnya. Biasanya, selaku aparat pemerintah, perbekel bersama perangkatnya kemudian turun tangan untuk mengatasi. Tetapi sekarang, tentu tidak demikian adanya. Mengingat aturan perundang-undangan telah menetapkan sebuah lembaga baru -- BPD -- yang notabene memiliki tugas dan kewenangan yang sama, yakni mengawasi dan mengatur pemerintahan desa, membuat peraturan perundang-undangan desa, menentukan Rancangan Belanja Pendapatan Desa (RAPBDes), menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dan lainnya.
Sayang, keberadaan lembaga tersebut belum sepenuhnya diakui pemerintah, baik pemerintah kabupaten maupun pemerintah di desa. Kesalahpahaman antara BPD dan perbekel pun tak dapat dihindarkan. Seperti yang terungkap dalam pertemuan pengurus BPD se-Kabupaten Gianyar di ruang pameran Museum Neka, Ubud, Sabtu (6/3). Dalam pertemuan itu, terungkap beberapa permasalahan, di antaranya masalah mekanisme dan kewenangan BPD mengayomi adat-istiadat di desa. Seperti diungkapkan Ketua BPD Bukian Wayan Dwipayasa, jika ada satu atau beberapa warga tanpa alasan jelas ingin melepaskan diri dari desa adat, bagaimana dan dari mana BPD itu bisa masuk ke permasalahan tersebut. Apalagi, keinginan warga melepaskan diri dari desa adat itu dianggap sebuah pelanggaran awig-awig.
Ia juga mengungkapkan seringnya terjadi kesalahpahaman antara perbekel dan BPD, terutama dalam hal pertanggungjawaban keuangan desa. Padahal, BPD punya kewenangan untuk merancang APBDes terkait sumber dan pengeluaran keuangan desa.
Di samping itu, permasalahan lain berupa penetapan aturan dan mekanisme di desa, perbekel juga cenderung merasa sebagai single power. Ketika BPD mengundang masyarakat untuk mengadakan suatu koordinasi terkait pelaksanaan pemerintahan di desa, ada perbekel yang protes dan mempertanyakan, bagaimana keberadaan BPD sehingga berani mengundang masyarakat tanpa melalui perbekel. Bahkan, ada yang beranggapan bahwa BPD itu bukan milik rakyat. ''Bagaimana ini, bukankah BPD itu dibentuk berdasarkan undang-undang,'' tanya pengurus BPD Tulikup, Gusti Ngurah Agung Tri Putra.
Selain itu, muncul keinginan pengurus BPD dalam pertemuan yang dipimpin Ketua BPD Buahan Kaja, Payangan, Berata Ashrama ini untuk membentuk sebuah Forum BPD. Keberadaan forum itu diharapkan dapat menyatukan persepsi antara perbekel dan perangkatnya dalam mengawasi pemerintahan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Paling tidak, dengan bekerja sama dengan pakar hukum pemerintahan, BPD bisa mempersempit perbedaan yang memunculkan suatu permasalahan itu.
Dari 71 pengurus BPD yang hadir secara aklamasi memilih Berata Ashrama sebagai Ketua Forum BPD Gianyar yang dibantu enam pengurus lainnya, yang masing-masing kecamatan menempatkan seorang perwakilannya. ''Setelah forum ini terbentuk, kami akan segera berkoordinasi dengan perbekel dan perangkatnya untuk bersama-sama melaksanakan pemerintahan desa. Mudah-mudahan nantinya bisa dibuat bagan tugas dan kewenangan serta tupoksi masing-masing serta mekanisme hubungan kerja. Sehingga, antara BPD dan perbekel serta perangkatnya dapat bekerja sama dengan baik tanpa ada perasaan saling menyaingi,'' ujar Berata Ashrama. (bal)
Implikasi penerapan Otonomi Daerah sebagaimana diamanatkan Undang Undang 22 Tahun 1999 berpengaruh penting pada tatanan penyelenggaraan Pemerintahan Desa sebagai front terdepan pertemuan kepentingan masyarakat dengan Pemerintahan. Pengakuan eksistensi Pemerintahan Desa yang bersifat otonom dengan mengintroduksi perangkat Badan Perwakilan Desa yang mirip dengan struktur Dewan Perwakilan Rakyat menimbulkan penafsiran yang beragam ketika berinteraksi dengan Kepala Desa.
Penelitian Peran Badan Perwakilan Desa (BPD) dan Lembaga Desa di Kabupaten Gresik bertujuan memetakan ragam pola hubungan kerjasama BPD dan Pemerintah Desa di Kabupaten Gresik, kemudian penelitian ini menemutunjukkan pola dan model kemitraan yang ideal berikut hambatan internal maupun eksternal. Penelitian menggunakan metode survei dengan 54 Desa terpilih sebagai sampel diantara 365 Desa di Kabupaten Gresik. Responden penelitian berjumlah 3 orang masing-masing Desa, terdiri atas mereka yang terlibat secara langsung dalam kemitraan antara BPD dengan Pemerintah Desa, yaitu Kepala Desa (mewakili Pemerintah Desa) dan Ketua BPD (mewakili BPD) serta seorang tokoh masyarakat desa sebagai informan penyeimbang.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Pimpinan dan Anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa. BPD berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat
Badan Permusyawaratan Desa
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Pimpinan dan Anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa. BPD berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Sebagai lembaga baru yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) dan Peraturan Daerah (Perda), keberadaan Badan Perwakilan Desa (BPD) ini belum banyak dikenal. Oleh karena itu, fungsinya sebagai penampung dan penyalur aspirasi masyarakat di desa belum banyak dimanfaatkan. Ironisnya, pengurus yang tergabung dalam wadah ini bahkan belum memahami betul apa yang menjadi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari BPD itu sendiri. Akibatnya, sering terjadi kesalahpahaman antara BPD dan perbekel serta perangkatnya yang selama ini menjadi penguasa tunggal di desa. Lantas, bagaimana upaya BPD memperkecil kesalahpahaman itu?
Berbagai permasalahan harus diakui memang sering muncul di masyarakat desa, seperti masalah adat, perebutan perbatasan wilayah dan lainnya. Biasanya, selaku aparat pemerintah, perbekel bersama perangkatnya kemudian turun tangan untuk mengatasi. Tetapi sekarang, tentu tidak demikian adanya. Mengingat aturan perundang-undangan telah menetapkan sebuah lembaga baru -- BPD -- yang notabene memiliki tugas dan kewenangan yang sama, yakni mengawasi dan mengatur pemerintahan desa, membuat peraturan perundang-undangan desa, menentukan Rancangan Belanja Pendapatan Desa (RAPBDes), menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dan lainnya.
Sayang, keberadaan lembaga tersebut belum sepenuhnya diakui pemerintah, baik pemerintah kabupaten maupun pemerintah di desa. Kesalahpahaman antara BPD dan perbekel pun tak dapat dihindarkan. Seperti yang terungkap dalam pertemuan pengurus BPD se-Kabupaten Gianyar di ruang pameran Museum Neka, Ubud, Sabtu (6/3). Dalam pertemuan itu, terungkap beberapa permasalahan, di antaranya masalah mekanisme dan kewenangan BPD mengayomi adat-istiadat di desa. Seperti diungkapkan Ketua BPD Bukian Wayan Dwipayasa, jika ada satu atau beberapa warga tanpa alasan jelas ingin melepaskan diri dari desa adat, bagaimana dan dari mana BPD itu bisa masuk ke permasalahan tersebut. Apalagi, keinginan warga melepaskan diri dari desa adat itu dianggap sebuah pelanggaran awig-awig.
Ia juga mengungkapkan seringnya terjadi kesalahpahaman antara perbekel dan BPD, terutama dalam hal pertanggungjawaban keuangan desa. Padahal, BPD punya kewenangan untuk merancang APBDes terkait sumber dan pengeluaran keuangan desa.
Di samping itu, permasalahan lain berupa penetapan aturan dan mekanisme di desa, perbekel juga cenderung merasa sebagai single power. Ketika BPD mengundang masyarakat untuk mengadakan suatu koordinasi terkait pelaksanaan pemerintahan di desa, ada perbekel yang protes dan mempertanyakan, bagaimana keberadaan BPD sehingga berani mengundang masyarakat tanpa melalui perbekel. Bahkan, ada yang beranggapan bahwa BPD itu bukan milik rakyat. ''Bagaimana ini, bukankah BPD itu dibentuk berdasarkan undang-undang,'' tanya pengurus BPD Tulikup, Gusti Ngurah Agung Tri Putra.
Selain itu, muncul keinginan pengurus BPD dalam pertemuan yang dipimpin Ketua BPD Buahan Kaja, Payangan, Berata Ashrama ini untuk membentuk sebuah Forum BPD. Keberadaan forum itu diharapkan dapat menyatukan persepsi antara perbekel dan perangkatnya dalam mengawasi pemerintahan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Paling tidak, dengan bekerja sama dengan pakar hukum pemerintahan, BPD bisa mempersempit perbedaan yang memunculkan suatu permasalahan itu.
Dari 71 pengurus BPD yang hadir secara aklamasi memilih Berata Ashrama sebagai Ketua Forum BPD Gianyar yang dibantu enam pengurus lainnya, yang masing-masing kecamatan menempatkan seorang perwakilannya. ''Setelah forum ini terbentuk, kami akan segera berkoordinasi dengan perbekel dan perangkatnya untuk bersama-sama melaksanakan pemerintahan desa. Mudah-mudahan nantinya bisa dibuat bagan tugas dan kewenangan serta tupoksi masing-masing serta mekanisme hubungan kerja. Sehingga, antara BPD dan perbekel serta perangkatnya dapat bekerja sama dengan baik tanpa ada perasaan saling menyaingi,'' ujar Berata Ashrama. (bal)
Implikasi penerapan Otonomi Daerah sebagaimana diamanatkan Undang Undang 22 Tahun 1999 berpengaruh penting pada tatanan penyelenggaraan Pemerintahan Desa sebagai front terdepan pertemuan kepentingan masyarakat dengan Pemerintahan. Pengakuan eksistensi Pemerintahan Desa yang bersifat otonom dengan mengintroduksi perangkat Badan Perwakilan Desa yang mirip dengan struktur Dewan Perwakilan Rakyat menimbulkan penafsiran yang beragam ketika berinteraksi dengan Kepala Desa.
Penelitian Peran Badan Perwakilan Desa (BPD) dan Lembaga Desa di Kabupaten Gresik bertujuan memetakan ragam pola hubungan kerjasama BPD dan Pemerintah Desa di Kabupaten Gresik, kemudian penelitian ini menemutunjukkan pola dan model kemitraan yang ideal berikut hambatan internal maupun eksternal. Penelitian menggunakan metode survei dengan 54 Desa terpilih sebagai sampel diantara 365 Desa di Kabupaten Gresik. Responden penelitian berjumlah 3 orang masing-masing Desa, terdiri atas mereka yang terlibat secara langsung dalam kemitraan antara BPD dengan Pemerintah Desa, yaitu Kepala Desa (mewakili Pemerintah Desa) dan Ketua BPD (mewakili BPD) serta seorang tokoh masyarakat desa sebagai informan penyeimbang.
Arsip Guz Tea