Gagasan dan tuntutan federalisme muncul setelah selama tiga dasawarsa kekuasaan orde baru gagal menerjemahkan konsep negara kesatuan sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Konsep negara kesatuan cenderung ditafsirkan identik dengan sentralisasi kekuasaan dan uniformitas struktur pemerintahan. Konsekuensinya, otonoi daerah menjadi suatu yang niscaya. Daerah tidak memeiliki kemerdekaan untuk menentukan masa depannya, tidak memiliki keleluasaan untuk mengelola pendapatan daerah, serta ketiadakpercayaan dari Pusat untuk menentukan sendiri pemimpin bagi daerahnya. Akibatnya masa depan setiap daerah ditentukan semuanya oleh pusat.
Akibat dari tersentralisasinya kekuasaan kepada pemerintah pusat, serta tidak meratanya hasil-hasil pembangunan, maka timbul berbagai pertentangan dan perlawanan dari daerah yang menuntut kemerdekaan dan bahkan keluar dari NKRI. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah mulai mendefinisikan ulang konsep desentralisasi, yang akhirnya dijabarkan menajadi otonomi daerah. Daerah diberi keleluasaan untuk mengatur rumah tangga daerahnya sendiri. Daerah juga mempunyai wewenang untuk mengatur keuangan dan pembangunan di daerahnya dengan disesuaikan dengan kondisi dan kulutur daerah masing-masing.
Namun bagaimanakah permasalah yang timbul dari pelaksanaan otonomi daerah yang ternyata masih menyisakan masalah bagi beberapa daerah. Ternyata masih ada daerah yang menuntut untuk memerdekakan diri dan lepas dari NKRI. Ini diakibatkan oleh akumulasi ketidakpercayaan pada Pemerintah Pusat dalam memajukan daerah dan cenderung diskriminatif tanpa memperhatikan kondisi daerah. Kasus seperti ini dapat dilihat pada konflik di Aceh, Papua, dan bebrapa daerah lainnya. Pada akhirnya untuk mengatasinya Pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan mengenai otonomi khusus bagi beberapa daerah seperti Aceh dan Papua.
II. Pembahasan
Dasar konstitusional penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah pasal 18, 18A dan 18B UUD 1945. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa negara kesatuan republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Dalam pola penyelenggaraan pemerintahan Indonesia, terdiri atas pemerintahan yang bertingkat dari Pemerintah Pusat, provinsi, kabupaten, hingga pemerintahan yang terkecil yakni Desa. Kesatuan-kesatuan pemerintahan yang berada dibawah pemerintah pusat dapat melaksanakan sendiri pemerintahannya dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang telah didelegasikan oleh pemerintahan pusat.
Dalam UUD 1945 mengaskan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Selain itu, pada pasal 18B UUD 1945 juga menyebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khsusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dasar-dasar secara konstitusional yang disebutkan di atas merupakan dasar secara yuridis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dasar pelaksanaan otonomi.
Dalam undang-undang, dasar pelaksanaan otonomi telah termaktub dalam UU No.22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan lahirnya UU No.32 Tahun 2004 tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam UU No.32 Tahun 2004 telah menyebutkan dalam melaksanakan pemerintahan, pemerintah dapat melaksanakan sendiri pemerintahan yang berada di daerah-daerah, menyerahkan sebagian kewenangan kepada daerah-daerah untuk melaksanakan sendiri pemerintahan yang berada di daerah, melimpahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah dan dapat melaksanakan tugas dengan diperbantukan oleh pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dan kepada desa. Berarti asas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam Negara kesatuan republik Indonesia adalah asas sentralisasi, desentralisasi dan tugas pembantuan.
Pada masa kekuasaan Orde Baru melalui UU No.5 Tahun 1974 tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah, pada realitasnya adalah asas sentralisasi. Pemerintah beranggapan bahwa apabila daerah diberikan keleluasaan untuk menyelenggarakan sendiri pemerintahannya, berpotensi akan hilangnya nasionalisme dan berpotensi akan terjadinya disintegrasi bangsa. Sehingga dalam prakteknya pemerintah memberlakukan keberagaman dalam pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia. Hal ini terbukti dengan pembiaran dan tidak mengakui lembaga-lembaga daerah di Indonesia yang telah lama hidup dan berkembang serta dihormati dan dipatuhi oleh masyarakat setempat. Bentuk sentralisasi lain yang dapat kita lihat dalam pelaksanaan pemerintahan pada masa orde baru adalah adanya pengawasan yang sangat ketat dan dominasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap daerah.
Daerah tidak diberikan kesempatan untuk lebih kreatif dalam menyelenggarakan pemerintahannya. Akibatnya pemerintah daerah cenderung pasif dan kewenangan-kewenangan yang dilaksanakan tidak lebih dari apa yang telah digariskan sebelumnya oleh pemerintah pusat. Pelaksanaan pemerintahan yang sangat sentralistik tersebut diibaratkan api dalam sekam yang siap untuk menyala. Meskipun pemerintah dapat meredam dengan kekuatan militer dan birokrasi yang bersifat komandoistik, namun protes dan persoalan integrasi bangsa mencuat manakala pemerintah Orde Baru tumbang. Pasca lengsernya pemerintahan yang sangat sentralistik tersebut, Indonesia mengalami suatu persoalan baru yakni persoalan disintegrasi bangsa.
Akibatnya tidak ada jalan lain bagi pemerintah, yakni dengan memberikan status otonomi bagi daerah. Dasar yuridis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah diberikan untuk melaksanakan otonomi, hal ini seiring dengan lahirnya UU No.22 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Lahirnya UU ini telah melahirkan nuansa baru dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Daerah-daerah khsususnya kabupaten/kota diberikan kesempatan yang besar dalam melaksanakan urusan-urausannya. Persoalan yang baru muncul dalam pelaksanaan otonomi adalah pemerintah provinsi merasa tidak diberikan kewenangan yang besar dibandingkan dengan pemerintah kabupaten/ kota. Akibatnya pemerintah kabupaten/kota merasa memiliki posisi yang sama dengan pemerintah provinsi. Hal ini berdampak kepada para gubernur di Indonesia merasakan kabupaten berada di luar pengawasannya. Tidak jarang para gubernur merasa tidak dihormati oleh pemerintah kabupaten. Dasar pelaksanaan otonomi daerah diperbaharui dengan lahirnya UU No.32 Tahun 2004. UU ini kembali memberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah provinsi untuk melaksanakan otonomi. Artinya, meskipun kesempatan untuk melaksanakan otonomi dititikberatkan pada kabupaten/kota, namun pemerintah provinsi mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota.
Otonomi Luas Sebagai Sebuah Solusi
Berbagai permasalah yang ada selama orde baru yang sentralistik berdampak luas pada penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dengan berbagai pemberontakan dan aksi yang menuntut kemerdekaan menyebabkan perlunya sebuah kebijakan yang mampu menampung aspirasi dan kepentingan daerah. Oleh karena itu untuk menengahi konflik yang berkepanjangan dikeluarkan kebijakan otonomi luas bagi daerah Aceh, Papua, dan Maluku.
Pemberian otonomi khusus kepada Provinsi Daerah istimewa Aceh didasarkan pada, antara lain kondisi riil masyarakat Aceh yang belakangan ini memunculkan pergolakan dalam berbagai bentuk reaksi. Pergolakan itu muncul sebagai akibat dari kebijakan dalam penyelenggaan pemerintahan pada masa lalu yang menitik beratkan pada system yang terpusat. System itulah yang menjadi sumber bagi kemunculan ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika tidak segera direspons dengan aktif dan bijaksana, maka hal tersebut akan dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan konisi tesebut, MPR pada Sidang Umum MPR tahun 1999, merumuskan dalam Gars-Garis Besar Haluan Negara 1999, kebijakan menyangkut Pembangunan Daerah. Dalam kebijakan itu, MPR menetapkan ketentuan khusu untuk tiga Provinsi, yaitu Daerah Istimewa Aceh, Irian Jaya, dan Maluku. Dalam keterangan pemberian status khusus itu disebutkan:
“Dalam rangka pengembangan otonomi daerah di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan bersungguh-sungguh ….” (Ni’matul Huda, 2005: 68)
Untuk Daerah Istimewa Aceh, ditetapkan bahwa:
Mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengharagai social budaya masayrakat Aceh, melalui penetapan Aceh sebagai daerah otonomi khusus “yang diatur dengan undang-undang.”
Menyelesaikan kasus Aceh secara berkeadilan dan bermartabat dengan melakukan pengusutan dan pengadilan yang jujur bagi pelanggaran hak asasi manusia, baik selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer maupun pasca-pemberlakuan Daerah Operasi Militer.
Pemberian otonomi kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyelenggaraan desentralisasi tersebut mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah otonom.
Sedangkan untuk Provinsi Irian jaya Pemerintah mengeluarkan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Otonomi Khusus bagi Provinsi papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas berbarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi papua untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Aspek Yuridis Konstitusional Otonomi Khusus
Pada saat kita merdeka dan sehari kemudian ditetapkan UUD 1945, Pasal 18 dan Penjelasannya memberikan dasar hukum bahwa Negara memandang dan mengingati hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia lalu kita mengenal adanya 2 (dua) daerah istimewa yaitu Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun sejarah juga telah mencatat bahwa sepanjang penyelenggaraan pemerintahan yang sangat dinamis, diantara daerah-darah di Indonesia terdapat daerah-daerah yang secara politis sangat berbeda sehingga perlu diapresiasi. Itulah kenapa MPR-RI pada saat menetapkan GBHN Tahun 1999-2004 mencantumkan hal itu untuk dijadikan acuan kebijakan.
Hadirnya peraturan perundang-undangan tentang otonomi khusus diawali oleh lahirnya Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Ketetapan ini telah merekomendasikan agar segera di bentuk Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001. Secara umum, isi dari Undang-undang ini pada prinsipnya mengatur kewenangan pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang merupakan kekhususan dari kewenangan Pemerintahan Daerah selain yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004 yang menetapkan landasan arah kebijakan pembangunan daerah, salah satunya adalah mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara lebih khusus GBHN mengarahkan bahwa dalam rangka pengembangan otonomi daerah di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan bersungguh-sungguh, maka perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
Daerah Istimewa Aceh;
Mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah NKRI dengan menghargai kesetaraam dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh melalui penetapan Daerah Istimewa Aceh sebagai daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang.
Menyelesaikan kasus Aceh secara berkeadilan dan bermartabat dengan melakukan pengusutan dan pengadilan yang jujur bagi pelangar hak azasi manusia, baik selama pemberlakuan Daerah operasi militer.
Irian Jaya;
Mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah NKRI dengan menghargai kesetaraam dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang.
Menyelesaikan kasus pelanggaran hak azasi manusia di Irian Jaya melalui proses pengadilan jujur dan bermartabat.
Maluku.
Menugaskan pemerintah untuk segera melaksanakan penyelesaian konflik sosial yang berkepanjangan secara adil, nyata dan menyeluruh serta mendorong masyarakat yang bertikai agar pro-aktif melakukan rekonsialisasi untuk mempertahankan dan memantapkan integrasi nasional.
Setahun kemudian ditetapkan Ketetapan MPR No.IV Tahun 2000 Tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Dari 7 (tujuh) rekomendasi yang ditetapkan, yang nomor 1 ditujukan secara khusus kepada Pemerintah dan DPR agar: Undang-undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya, sesuai amanat Ketetapan MPR No.IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004,agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei Tahun 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan.
Kedua Undang-undang yang diamanatkan MPR tersebut direalisasikan oleh Pemerintah dan DPR pada tahun 2001 yakni dengan diberlakukannya UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Dalam perkembangannya UU No.18 Tahun 2001 diganti dengan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Seiring dengan dinamika politik yang berkembang Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 (yang merupakan salah satu bagian dari amandemen kedua UUD 1945) mengatur bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. Ketentuan tersebut diadopsi dalam Pasal 2 Ayat (8) UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dalam penjelasannya dinyatakan bahwa yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus adalah daerah yang diberikan otonomi khusus, sedangkan daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari uraian tersebut maka otonomi khusus di Indonesia sejalan dengan prinsip universal yakni dilaksanakan dengan pertimbangan politik, secara yuridis konstitusional di Indonesia diberlakukan di Aceh dan Irian Jaya (Papua).
Otonomi Khusus Secara yuridis dasar implementasi adanya otonomi khusus dan istimewa adalah pasal 18B UUD 1945, pasal 18 ayat (1) berbunyi Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dengan demikian, pemerintah NKRI memberikan legitimasi bagi daerah tertentu untuk melaksanakan otonomi khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan. Daerah yang diberikan otonomi khusus adalah daerah Papua dan Aceh.
Papua diberikan otonomi khusus melalui UU No.21 Tahun 2001 dan daerah Aceh melalui UU No.18 Tahun 2001. Otonomi khusus di Papua berupa diberikan eksistensi daerah tersebut dengan diakuinya lembaga adapt Papua serta diberikan penmabahan dana perimbangan antara pusat dan daerah. Sedangkan pada daerah Aceh diberikan kewenangan untuk melaksanakan syarat Islam di daerah tersebut. Secara konfrehensif perbedaan antara daerah yang diberikan otonomi khusus dapat kita lihat pada kedua undang-undang yang telah disahkan tersebut.
Otonomi Khusus di Aceh Diberikannya kesempatan untuk melaksanakan pemerintahan secara khusus di Aceh melalui UU No.18 Tahun 2001 tidak memberikan dampak yang signifikan untuk menghentikan konflik vertikal yang terjadi di daerah itu. Para kalangan menilai bahwa UU tersebut hanya bersifat untuk meredam gejolak semakin memanasnya situasi Aceh untuk memisahkan diri dari NKRI. Sehingga bila kita lihat dasar pemberlakuan UU tersebut hanya dikarenakan kondisi objektif yang memaksa bagi pemerintah. Karenanya konflik masih saja berlangsung di wilayah itu.
Perundingan-perundingan yang dilakukan oleh pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka untuk menghentikan konflik belum menemukan titik terang. Pemerintah Megawati Soekarno Putri sampai memberlakukan status Darurat Militer bagi Aceh setelah gagalnya perundingan Tokyo. Adanya momentum tsunami yang telah banyak menelan korban yang cukup besar di Aceh telah membawa perubahan sikap bagi entitas yang berkonfrontasi untuk memikirkan kembali perundingan demi terciptanya perdamaian di Aceh. Sehingga pemerintah NKRI dan GAM kembali melakukan perundingan pada bulan Januari 2005 yang lalu. Perundingan tersebut melahirkan nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 15 September 2005. amanat dari MoU ini adalah perlunya pengaturan secara konstitusional tentang penyelenggaraan pemerintahan Aceh, pengintegrasian GAM, pemusnahan senjata GAM dan penarikan pasukan TNI/POLRI nonorganik di Aceh. Adanya MoU antara pemerintah dengan GAM telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan nasional.
Sebagian kalangan menilai bahwa semestinya pemerintah tidak perlu melakukan perundingan dengan separatis yang jelas-jelas telah berusaha untuk merusak keutuhan NKRI. Namun demikian, pemerintah tetap melaksanakan penandatanganan kesepakatan dengan tujuan untuk menyelesaikan persoalan Aceh yang telah lama bergejolak. Hal menarik untuk kita kaji adalah implementasi MoU ini telah melahirkan UU No.11 Tahun 2006 tentang penyelenggaraan pemerintahan Aceh. Lahirnya UU ini telah memberikan dinamika baru dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh.
Infrastruktur politik barupun bermunculan dan kewenangan-kewenangan bagi pemerintah Aceh dalam melaksanakan roda pemerintahan di Aceh bertambah sehingga sebagian kalangan nasionalis menilai dengan adanya UU ini telah menjadikan daerah Aceh sebagai daerah yang sangat istimewa dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Hal ini dikarenakan Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa MoU merupakan perjanjian politik bukan perjanjian hukum.
Adanya keraguan dan kecemasan ini akan berpotensi dalam implementasi UU No.11 Tahun 2006 kedepan, karenanya perlu kita kaji kembali penyelenggaraan pemerintahan Aceh melalui UU No.11 tahun 2006 dari sudut Hukum Tata Negara Indonesia. Apakah implementasi UU yang mengatur tentang kekhususan Aceh tersebut berpotensi merusak bentuk NKRI? Hal ini menarik untuk kita diskusikan dan kaji kembali.
Secara teoritis pelaksanaan otonomi daerah berlatar belakang dari adanya tujuan politis dan tujuan administratif yang ingin dicapai oleh pemerintah suatu negara. Maddick (1963 dalam Riyadmadji, 2007) menyatakan bahwa secara rasional tujuan politisnya ialah adanya kebutuhan untuk menciptakan civic consciousness dan political maturity melalui pemerintah daerah. Lebih lanjut Maddick berargumen bahwa "The spread of political maturity can be affected through popular participation and a responsive government that can convert local needs into policies and be accountable to the people".
Argumen yang senada juga dinyatakan oleh Loughlin (1981:1, dalam Ibid.) yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan daerah perlu untuk mengakomodasikan pluralisme dalam suatu negara modern yang demokratis. Sedangkan Smith (1985) berargumen bahwa keberadaan pemerintah daerah perlu untuk mencegah munculnya kecenderungan sentrifugal karena perbedaan etnis, agama dan unsur-unsur primordial lainnya dalam daerah-daerah yang berbeda.
Sementara itu dari tujuan administratif alasan rasional membentuk pemerintahan daerah adalah untuk mencapai efisiensi ekonomis melalui desentralisasi perencanaan, pengambilan keputusan, pengadaan pelayanan masyarakat dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pembangunan. Dari sini lahir suatu kebutuhan untuk membentuk unit-unit pemerintahan di tingkat lokal (sub national governments) baik atas prinsip devolusi/ desentralisasi maupun atas dasar prinsip dekonsentrasi.
Kedua jenis pilihan tersebut akan mempunyai implikasi yang sangat berbeda dan menurut Rondinelli (1984), adanya kecenderungan dari pemerintah negara-negara di dunia untuk mengkombinasikan pilihan-pilihan tersebut walaupun dengan memberikan titik berat pada salah satu prinsip (desentralisasi atau dekonsentrasi).
Dari tataran teoritis dan bukti-bukti empirik tersebut terlihat bahwa masalah otonomi selalu berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan otonomi sangat berkait erat dengan perkembangan politik di tingkat nasional. Nature dari politik di tingkat nasional akan mewarnai nature politik di tingkat lokal dan pada gilirannya akan mewarnai politik desentralisasi yang diterapkan oleh pemerintah yang berkuasa.
Secara akademis hakekat otonomi daerah merupakan refleksi dari power sharing yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah. Dalam kaitan ini terdapat beberapa kewenangan pusat yang tidak dapat diserahkan kepada daerah yaitu pertahanan keamanan, hubungan luar negeri, serta urusan moneter dan fiskal. Di luar itu pada dasarnya urusan-urusan Pemerintah Pusat dapat didesentralisasikan ke daerah.
Sementara itu pelaksanaan otonomi khusus di beberapa negara merupakan refleksi dari pendekatan desentralisasi yang asimetrik (asymetric decentralization). Artinya kebijakan desentralisasi yang diterapkan di daerah-daerah yang diberi otonomi khusus tersebut tidaklah simetris dengan desentralisasi di daerah otonom lainnya.
Philipina yang memberlakukan otonomi khusus di Mindanao Selatan, Spanyol yang memberlakukan otonomi khusus di Basque, Canada yang memperlakukan otonomi khusus di Quebec semuanya didasari karena adanya kelompok minoritas yang ingin memisahkan diri, lalu daripada memisahkan diri diberlakukan kebijakan desentralisasi yang bersifat khusus dengan memberikan otonomi khusus. Dengan demikian secara akademis pendekatan asimetrik tersebut dilakukan untuk mengakomodasikan perbedaan yang tajam yang terjadi di daerah-daerah khusus dengan yang berlaku umum di bagian lain dari sebuah negara. Dengan kata lain otonomi khusus diberlakukan karena pilihan itu berbobot politik yang sangat kental.
Bila demikian maka dari tataran akademik tersebut maka otonomi khusus di Indonesia memang hanya diberlakukan pada 2 (dua) daerah yaitu Aceh dan Irian Jaya yang secara politis perlu treatment secara khusus di bidang kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Secara substantif, pengaturan dalam UU Otsus selalu mencantumkan adanya hak-hak khusus yang diberlakukan di daerah tersebut yang dalam bahasa pengaturan dapat berupa dana tambahan, dana otsus, dana kelebihan bagi hasil dan seterusnya. Dan substansi ini yang paling gampang diserap pengertiannya dengan menyimpulkan bahwa bila berlaku otsus berarti khusus pula bagi hasil dan dana tambahannya.
III. Kesimpulan
Pada dasarnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia masing-masing daerah berpeluang memiliki potensi untuk mengembangkan sektor unggulan sesuai dengan karakteristik,kekhasan dan potensi unggulan daerah tersebut. Itulah sebabnya dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur dalam Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) tentang hal tersebut diatur dengan istilah urusan pilihan. Sayang untuk hal ini belum diaktualisasi secara optimal oleh masing-masing daerah pada umumnya.
Apabila hal tersebut dapat diaktualisasi secara optimal, sebenarnya tidak perlu terjadi wacana otonomi khusus lagi. Lebih-lebih bila tafsir otonomi khusus dijauhkan dari konsep sebenarnya, dan sebaliknya hanya diidentikkan dengan tuntutan ingin memperoleh perlakuan yang khusus dari bagi hasil sumber daya alam yang ada di daerahnya dan semacamnya, sambil melupakan daerah lain yang miskin sumber daya alam. Namun bagaimanapun Otonomi Khusus yang sudah berjalan merupakan langkah untuk memperbaiki pemerintahan di daerah guna mencapai good local governance dan mempercepat proses demokratisasi.
Daftar Pustaka http://duniapolitiku.blogspot.com/2008/10/otonomi-khusus.html
Azmi, Zul. 2008, “Dilematika Otonomi Khusus Aceh” Artikel dalam http://www.peoplecrisiscentre.org
Hoessein, Bhenyamin. 2002, “Perspektif Jangka Panjang Desentralisasi dan Otonomi Daerah”, Makalah Diskusi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah dalam Jangka Panjang, Bappenas, 27 Nopember 2002.
Huda, Ni’matul. 2005, Otonomi Daerah: Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan Problematika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Riyadmadji, Dodi. 2007. “Mengapa Otonomi Khusus?”, artikel dalam http://www.ditjen-otda.go.id
Rozali, Abdullah. 2005, Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, PT Raja Grafindo, Jakarta.
Sabarno, Hari. 2007, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika, Jakarta.
Soebiantoro, M, dkk. 2007, Politik dan Pemerintahan Lokal, FISIP-Unsoed, Purwokerto.
Sumule, Agus. 2003, Satu Setengah Tahun Otsus Papua: Refleksi dan Prospek, Penerbit Yayasan ToPanG, Manokwari.
2 Response to Otonomi Khusus Sebagai Solusi Masalah Desentralisasi (oleh: Bambang Wibiono)
amazing
beneran..?
Post a Comment